Dari: Gigih
Ada hal penting yang perlu kamu tau. Temui aku di halte bis dekat sekolah. Aku akan menunggu.
Tamara mencoba fokus pada penjelasan Bu Nina tentang integral dan diferensial lanjutan. Meskipun jemarinya mampu menyalin catatan pada papan tulis dengan sangat cepat namun otaknya butuh usaha keras untuk bisa memahami setiap kata yang tertulis. Gadis bintang kelas itu kesulitan menghilangkan bayang-bayang pesan dari Gigih yang dia terima sekitar satu jam yang lalu.
Tamara menerka-nerka apa yang akan Gigih sampaikan setelah mengabaikannya selama lebih dari satu bulan. Di satu sisi Tamara merasa ragu Gigih benar-benar berniat menemuinya. Kelasnya berakhir jam lima sore sementara kelas Gigih berakhir dua jam lebih awal. Dari cerita Bella, Tamara tau kalau sore ini tidak ada rapat OSIS maupun kepanitiaan sehingga sudah pasti Gigih pulang lebih awal.
Mungkin Gigih lupa kalau aku pulang lebih larut. Dia tidak mungkin menunggu dua jam di halte bis hanya karena perlu memberitauku sesuatu, batin Tamara.
Berkat pemikiran itu, Tamara berhasil fokus memperhatikan sisa penjelasan Bu Nina hingga kelas berakhir.
Begitu bel berbunyi, Tamara bergegas menuju halte dan sesuai dugaannya, Gigih tidak ada di sana. Setelah satu bulan bersikap seperti orang asing bagi satu sama lain, Tamara merasa canggung bila harus berbicara empat mata dengan Gigih. Di satu sisi, Tamara berharap memiliki momen yang tepat untuk meminta maaf atas suatu kesalahan yang telah membuat Gigih mengabaikannya, sesuatu yang masih menjadi misteri besar baginya.
Secara tidak terduga, Bella enggan memberi bocoran setelah gadis itu terang-terangan mengaku telah berbicara empat mata dengan Gigih. Berlagak seperti orang dewasa, Bella mangatakan bahwa masalah Tamara dan Gigih bisa selesai hanya jika keduanya bertemu dan bicara empat mata.
Merasa lega dan berniat melupakan, tapi juga enggan berhenti berharap meski hati belum sepenuhnya siap untuk kemungkinan terburuk. Tamara merasa hati dan pikirannya membentuk dua kubu: si kanan yang ikhlas dan si kiri yang penuh harap.
Langit yang semula cerah dalam sekejap dipenuhi awan kelabu yang kemudian menumpahkan tetesan air hujan yang begitu deras. Tamara memandang layar ponsel yang memunculkan nomor telepon Pak Joni, sesekali memandang ke sekeliling barangkali ada tanda-tanda kehadiran lelaki yang sedari tadi dinanti-nantikan. Setelah lima belas menit berlalu, si kiri mengibarkan bendera putih. Jempol Tamara menekan tombol hijau.
“Halo Pak Joni? Iya, ini Tamara. Tolong jemput—“
“Tamara!”
Tamara beranjak dari bangku. Kedua matanya yang menyipit berusaha mengenali wajah lelaki yang tengah melambaikan sebelah tangannya dari seberang—sementara tangannya yang satunya menahan tas yang dijadikan pengganti payung.
“Tunggu sebentar!” teriak Gigih dengan sebelah tangan diletakan disekitar mulut.
“Non? Halo, Non Tamara?”
Tamara mendekatkan ponsel ke arah telinga.
“Sa-saya masih sibuk, Pak. Saya akan telepon lagi kalau nanti sudah siap dijemput.”
Bersamaan dengan Tamara menekan tombol merah, Gigih telah sampai di bawah atap halte bis dengan rambut dan seragam bagian atas yang basah kuyup. Tamara seketika teringat dengan kali pertama mereka bertemu di halte bis. Semuanya terasa sama. Gigih basah kuyup karena hujan dan Tamara membuat Gigih menunggu. Hanya saja kali ini Tamara tidak menemukan luka pada tangan Gigih.
Tamara kembali duduk tepat di tempat yang sama dengan kedua tangan memeluk tas sembari memperhatikan Gigih merapikan rambut cepaknya yang agak berantakan karena terguyur hujan. Ketika Gigih menoleh, Tamara buru-buru memalingkan pandangan.
“Jadi... ada hal penting apa?” Tamara langsung ke inti pembicaraan.
“Oh iya. Hm... ini... tentang selebaran misterius itu, juga tentang kecurangan pemilu OSIS kemarin.”
Tamara menoleh pelan. Dia merasa tidak ada yang perlu dia tau tentang si penyebar selebaran misterius dan kecurangan pemilu OSIS karena dia telah mengetahui semuanya. Akan tetapi, guratan tegas pada dahi dan sekitar alis Gigih dengan ujung sedikit menukik sama sekali tidak tampak seperti dia sedang berpura-pura.
“Apa maksudmu?”
“Jadi... sebenarnya... Jose tidak sempat mengganti kotak suara karena waktu itu Kak Amelia sedang patroli sehingga. Jose tidak memiliki kesempatan. Ketika tau kamu menang, Jose memanfaatkan kesempatan. Dia berpura-pura telah melakukan tugasnya dengan baik demi mendapatkan... apa yang kamu janjikan padanya.”
“Ponsel Jose pernah hilang dan ditemukan oleh Mita. Saat itulah Mita tau tentang percakapan kalian. Jose tau kalau Mita tau dan memberitau yang sebenarnya. Tapi Mita tidak ingin rencananya gagal sehingga dia memprovokasi Jose—”
“Memprovokasi?”
Gigih mengangguk pelan.
“Mita mengatakan bahwa kamu bisa kelewat marah dan membenci Jose bila tau semua kebohongan yang Jose tutup-tutupi. Karena itu, Jose merasa tidak punya pilihan lain selain diam.”
Gigih menggosokkan kedua telapak tangannya untuk meredam hawa dingin yang telah berhasil membekukan sekujur tubuh Tamara.
“Kamu memenangkan pemilu kemarin dengan adil, Ra. Kamu memenangkan pemilu itu berkat usaha kerasmu, berkat dukungan yang diberikan seisi sekolah—“
“Dan aku mengecewakan mereka.” Tamara menghela napas panjang. “Dan Jose... Ya Tuhan.”