The Throne

Mentari
Chapter #33

Terkesan

Dua hari yang lalu, tim publikasi acara kelulusan kelas XII mengumumkan pesta perayaan kelulusan yang akan diselenggarakan pertegahan bulan Mei. Pesta tahun ini bertajuk “Negeri Dongeng”. Sebagai bentuk apresiasi dan persembahan kepada siswa-siswi kelas XII, seluruh siswa-siswi kelas XI wajib berpartisipasi dalam sebuah pentas drama.

“Jadi, drama harus dipentaskan dalam bahasa Inggris.” Kinan yang baru saja datang selepas menghadiri technical meeting sebagai perwakilan kelas XI-A5 langsung memimpin rapat kelas dadakan. “Untuk judul drama, kelas kita kebagian kisah Aladdin.”

Kelas mendadak riuh. Beberapa mulai saling tunjuk. Si A menjadi Aladdin, si B menjadi Jasmine, si C menjadi jin biru dan sebagainya. Bahkan beberapa ada yang tidak sungkan menunjuk dirinya sendiri.

“Pada tanggal 17 Mei akan diadakan gladi bersih dan satu hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 16 Mei, lima perwakilan tiap kelas diperbolehkan mengecek kondisi dan situasi panggung. Durasi pementasan sekitar dua puluh menit dengan toleransi persiapan di awal sekitar sepuluh menit. Untuk audio tidak boleh menggunakan audio rekaman kecuali untuk ‘bekson’. Untuk ’blekmen’, bagian ‘laiting’, semuanya menjadi tanggung jawab tiap kelas. Dan ini poin terpenting.”

Telunjuk Kinan menunjuk langit-langit.

“Setiap siswa dari lima kelas dengan penampilan terbaik akan diberi tambahan nilai pada pelajaran bahasa Inggris.”

Sorak sorai terdengar dari setiap sudut kelas. Semuanya menyambut dengan penuh suka cita berita baik itu kecuali Tamara yang menyimak dengan tenang di bangkunya.

Pemilihan peran dilakukan dengan musyawarah singkat. Jelita yang berparas serupa namanya—dengan kulit sawo matang yang menawan—memperoleh dukungan penuh untuk memainkan peran Jasmine. Begitu tau Jelita mendapatkan peran Jasmine, hampir seluruh siswa menginginkan peran Aladdin yang akhirnya dipercayakan kepada Kinan. Sebagian besar siswi menilai Kinan memiliki paras yang paling mencolok dan mampu mengimbangi kecantikan Jelita. Peran jin biru diberikan pada Farkhan yang dengan percaya diri penuh mengajukan diri, peran Jafar diberikan pada Akbar setelah melalui perdebatan alot, dan peran sultan diberikan pada Tomi yang menerima dengan pasrah tanpa sedikit pun perlawanan.

“Kita butuh seorang mentor yang akan mengajari para pemain berdialog dalam bahasa inggris karena kita sangat awam,” ujar Kinan. “Jadi, siapa yang bersedia mengajukan diri?”

Ovi yang duduk di deretan tengah refleks mengacungkan tangan. Gadis berhijab itu memang kerap berbicara dalam bahasa Inggris bahkan ketika berbincang-bincang dengan teman sekelasnya. Sekali pun teman yang diajak bicara tidak merespon, sekali pun tidak jarang dikata-katai terobsesi masuk kelas internasional oleh anak kelas tetangga, kepercayaan diri gadis itu tidak pernah terkikis.

So I search the story of Aladdin and....

Ovi membacakan ringkasan cerita Aladdin yang dia temukan di internet dengan semangat membawa. Ketika mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas, dia mendapati Tamara duduk tertunduk sembari menutup telinga.

“Hei, Tamara. Kenapa kamu nutup telinga segala? Kamu mengejekku?”

Tamara menurunkan kedua tangan yang semula dia gunakan untuk menutup telinga.

Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung,” balas Tamara bersungguh-sungguh. “Aku hanya merasa... kamu bicara terlalu keras sehingga terdengar monoton dan sedikit memaksakan diri berbicara dalam aksen asing jadi terdengar sedikit miss. Caramu melafalkan kata dalam bahasa Inggris juga masih kurang tepat. Karena kita belum akan mulai latihan berdialog, kupikir akan lebih baik jika kamu menjelaskan pakai bahasa Indonesia agar semua orang mengerti.”

Seisi kelas bisa merasakan ketegangan di antara Tamara dan Ovi dari cara keduanya saling menatap.

“Kamu jangan sok jago ya mentang-mentang mantan anak internasional. Buktinya mereka tidak protes.” Ovi mencari pembelaan. “Aku bisa mengajari mereka. Aku bisa membawa kelas ini menjadi yang terbaik. Kami tidak butuh bantuanmu. Kalau kamu tidak ikut ambil bagian dalam drama ini, kami juga tidak rugi.”

“Betul banget!” seru Fian dari pojok ruang kelas. “Ovi bagus kok ngomong inggrisnya. Kamu aja, kan yang tersinggung karena di kelas ini tidak menjadi satu-satunya yang jago bahasa Inggris?”

Gelak tawa mengejek Fian yang disambut gelak tawa Akbar, Putra, Randy dan beberapa siswa lain berhasil memprovokasi Tamara. Tanpa mengatakan apa-apa, Tamara meninggalkan kelas. Gadis yang terlanjur terbawa arus itu tidak peduli sekali pun Jelita beberapa kali memintanya kembali ke kelas.

“Kalau mereka tidak membutuhkan aku, ya sudah,” seru Tamara sembari menuruni lima anak tangga terakhir.

“Bukannya itu Tamara? Dia anak kelas XI-A5, kan? Kasian sekali. Drama mereka pasti menjadi yang paling buruk. Kelas mereka kan kelas buangan.”

Langkah Tamara terhenti di persimpangan lorong. Kata-kata yang baru saja didengar oleh Tamara jelas ditujukan untuk menjatuhkan harga diri kelas XI-A5 yang secara tidak langsung juga menjatuhkan harga diri Tamara yang kini menjadi bagian dari kelas yang diberi julukan ‘kelas buangan’. Layaknya bara api, kata-kata itu membantu menyalakan kembali jiwa kompetitif dan ambisius dalam diri Tamara, membuat gadis berkacamata itu bergegas memutar balik haluan.

“Tamara?”

Jelita menyambut kedatangan Tamara.

“Aku tidak bermaksud menyinggungmu Ovi tapi kalau kamu mengajari... Pokoknya aku mengajukan diri menjadi mentor.”

Ucapan serius Tamara lagi-lagi mengundang gelak tawa Fian dan teman-temannya.

“Tunggu, tunggu. Kenapa kamu tiba-tiba antusias begini? Oh, aku tau!” Fian beranjak dari bangku. “Apakah Pak Anton baru saja menawarimu penawaran bagus kalau kamu bisa membawa kelas ini menjadi juara? Mungkin hadiahnya... kamu diperbolehkan kembali ke kelas internasional? Begitu?”

Tamara melangkah tegas ke tengah panggung kelas lalu menjatuhkan tas punggungnya di lantai.

“Terus kenapa? Apa pedulimu aku mendapat tawaran itu atau tidak? Toh kalau kelas kita juara, kamu juga yang senang, kan karena dapat tambahan nilai bahasa Inggris?”

Seisi kelas dibuat bungkam oleh konfrontasi Tamara kepada Fian. Sebelumnya, tidak pernah ada yang berani melawan preman kelas itu bahkan dengan sebatas menimpali ucapannya.

“Kalian tidak lelah dibilang anak-anak kelas buangan? Kalian tidak sakit hati dibilang anak-anak bodoh? Kalian tidak capek menjadi bahan tertawaan anak-anak kelas sebelah? Asal kalian tau, mereka mentertawakan kita. Aku dengar sendiri, mereka mengatakan bahwa drama kita akan menjadi yang terburuk. Kamu pikir aku terima kelas kita dikatai seperti itu? Aku memang mantan anak kelas internasional, terus kenapa? Kenyataannya sekarang aku menjadi bagian dari kelas ini dan aku yakin kelas kita jauh lebih baik dibandingkan yang mereka kira. Dan aku bisa membantu. Aku berjanji.”

Kesunyian kembali merajai suasana. Tidak ada satu orang pun yang berani menimpali ucapan Tamara tidak terkecuali Fian dan pasukannya.

“Aku mendukung Tamara!”

Lihat selengkapnya