“Tamara, nanti kamu langsung ganti baju ya. Setelah itu kita makan siang bersama.”
Langkah Tania terhenti ketika kedua matanya menangkap kehadiran Erwin di ruang tengah. Tamara yang semula berjalan di sisi kiri sambil menggandeng tangannya buru-buru berlari menghampiri Erwin dan menghamburkan pelukan.
“Papa akan makan siang di rumah?” tanya Tamara.
Erwin mengangguk pelan kemudian mengelus kepala Tamara.
“Tamara, kamu ganti baju terus diam di kamar dulu ya. Papa ada urusan sebentar sama Mama.”
Meskipun penasaran, gadis kecil dengan kuncir buntut kuda itu tidak berani bertanya. Dia beranjak dari sofa lalu berlarian kecil menaiki anak tangga dan langsung mengurung diri di kamar.
“Tadi pagi kamu bilang ada rapat penting jadi tidak bisa ikut ke sekolah,” ujar Tania. “Rapatmu ditunda?”
“Sebelum kita bicarakan soal rapat, kita harus bicara soal Tamara.”
Tania mengekori Erwin yang melangkah cepat menuju kamar. Jantung Tania berdetak semakin cepat dan benar-benar tidak terkendali ketika Erwin mengunci kamar dan berdiri membelakangi daun pintu. Sepasang mata elang Erwin menahan Tania untuk tidak beranjak dari kursi tempatnya mematung dengan kepala tertunduk.
“Bagaimana semester ini?”
“Dia...” Tania menghela napas panjang. “nilainya membaik.”
“Oke. Jadi nilainya saja yang membaik. Peringkatnya tidak.” Erwin menyimpulkan. “Berapa selisih nilainya dengan si juru kunci?”
“Erwin, tolong. Berhenti menyebut juru kunci.” Tania menopang kepala dengan kedua tangan. “Tamara baru akan naik kelas dua SD. Dia baru mulai belajar dan sangat buruk jika kita sebagai orang tua juga menilai hanya dari peringkat dan angka-angka.”
“Aku tanya, berapa selisih nilainya?”
“Sama seperti kemarin,” jawab Tania putus asa. “Selisih empat poin. Tapi Tamara sudah jauh lebih baik pada pelajaran Matematika, IPA, dan bahasa Inggris.”
“Tapi kalau Tamara nyaris menjadi juru kunci dengan selisih nilai sekecil itu, itu berarti nyaris sama tidak ada perbaikan dari semester sebelumnya.” Erwin mondar-mandir dengan sebelah tangan memijat dahi yang kemudian terjulur ke arah Tania. “Laporannya. Aku mau baca catatan dari wali kelasnya.”
Erwin menyibak dengan kasar beberapa halaman depan hingga sampai pada bagian catatan guru. Catatan yang tertulis pada kolom di bagian bawah tabel nilai membuat lelaki itu refleks membanting buku bersampul merah tua itu ke lantai.
“Erwin, tolong tenangkan dirimu.” Tania beberapa kali menghela dan menghembuskan napas agar emosinya tidak sampai mencuat lewat ucapan atau tindakan atau Erwin bisa semakin kehilangan kendali. “Apa yang kamu harapkan? Perubahan drastis hanya dalam waktu enam bulan?”
“Dia tidak percaya diri, tidak berani berpendapat, pasif dalam pekerjaan kelompok, dan kurang menjalin pertemanan! Dan kamu berharap aku menerimanya begitu saja?”
“Tamara itu pemalu. Aku yakin dia bisa jadi lebih baik selama kita sabar mendampingi dia.”
“Dia tidak percaya diri dan takut berpendapat karena dia tidak cukup pintar.” Erwin mengepal sebelah tangan tanda yakin. “Karena dia tau bahwa dia tidak cukup pintar. Dia minder melihat teman sekelasnya jauh lebih pintar. Semuanya bisa membaik kalau peringkatnya membaik. Dia akan menjadi percaya diri jika dia punya sesuatu untuk dia banggakan.”
Erwin memeriksa daftar kontak dan menghubungi salah satu nomor yang tersimpan di sana.
“Aku baru saja menghubungi salah seorang kenalanku, Pak Ilyas. Dia mengelola lembaga bimbingan belajar. Mulai besok, Tamara akan les dengan guru privat dari pagi sampai sore.”
“Apa? Tunggu—”
Tania bergegas mengejar Erwin yang justru mempercepat langkah menuju garasi.
“Aku berencana mengajak Tamara kursus origami besok. Erwin, dia masih kecil. Dia masih harus banyak bermain.” Tania semakin erat mencengkeram lengan Erwin. “Aku tau kamu melakukan semua ini untuk Tamara tapi tidak perlu secepat ini. Dia masih punya cukup waktu untuk berkembang pelan-pelan.”
“Kalau kita salah langkah, bisa-bisa tahun depan Tamara turun ke kelas non-unggulan. Kalau sampai itu terjadi, Ayahku tidak akan tinggal diam.” Erwin mengelus tangan Tania yang tekepal di lengannya. “Aku benar-benar minta maaf. Tolong beritau Tamara aku tidak bisa ikut makan siang.”
**
“Jadi... Kamu menemui Ayah?”
Erwin mengangguk.
“Ayah baik-baik saja? Terakhir kamu cerita Ayah ada urusan kerja di Malaysia dan seharusnya dia baru kembali sebulan yang lalu.” Tania mengesap perlahan teh hitam kesukaannya.
“Dia masih cukup sehat untuk bersikap angkuh seperti biasanya.”
“Erwin...”
“Sudah kubilang, dia tidak akan diam saja.” Erwin mendorong cangkir kopi yang masih penuh ke tengah meja makan. “Aku tidak akan biarkan Ayah menemui Tamara.”
“Aku tau kamu khawatir. Tapi selama ini Tamara hanya mengunjungi orang tuaku. Bagaimana pun juga Tamara perlu bertemu dengan Ayahmu dan pergi ziarah ke makam Ibumu, Erwin.” Tania menjemput sebelah tangan Erwin yang terkepal di atas meja. “Cobalah untuk berdamai dengannya.”
“Ayah bisa diajak berdamai jika aku membuktikan padanya bahwa dia salah. Hanya itu dan sampai saat ini aku belum berhasil,” ucap Erwin dengan suara bergetar. “Sudah dua tahun Tamara ikut bimbingan intensif dan tidak ada perbaikan. Aku akan mencari guru yang lebih baik dan jam belajar Tamara akan kutambah.”
“Tamara masih bertahan di kelas unggulan, Erwin,” keluh Tania.
“Tapi dia turun ke peringkat terakhir.”
“Nilainya meningkat jauh terutama pada pelajaran Matematika.”
“Tapi tetap tidak cukup untuk mengejar teman-temannya.”
“Dia pintar,” ucap Tania tegas. “Dan bagiku itu cukup.”
“Tapi tidak bagiku,” sela Erwin cepat. “Tidak bagi Ayahku. Dan sebenarnya itu juga tidak cukup bagi Tamara. Peringkatnya yang memburuk bisa mempengaruhi kepercayaan dirinya. Dia akan benar-benar hancur jika tahun depan turun ke kelas non-unggulan. Aku akan benar-benar hancur jika itu terjadi dan Ayah nekat muncul di depan pintu rumah kita.”
“Lalu... aku... apa yang bisa kulakukan, Erwin? Tamara lelah, dia ingin istirahat.”
Bulir air mata di bawah pelupuk mata Tania memantulkan cahaya lampu remang-remang di atas meja makan.
“Ayah memberiku waktu sampai tahun depan.” Erwin menyeka bulir air mata yang jatuh dari ujung kedua mata Tania. “Kalau nilai dan peringkat Tamara tidak membaik, dia akan datang kemari. Aku tidak siap, Tania. Aku takut.”
Tania meletakan sebelah tangan Erwin di pipinya.
“Aku akan membantu Tamara. Aku akan mencoba membuatnya mengerti bahwa lelah yang dia rasakan akan membantunya di masa depan.” Tania mengelus punggung tangan Erwin. “Tidak akan kubiarkan Ayah datang menemui Tamara sebelum kamu siap.”
**
“Aku mendaftarkan Tamara ke dua lembaga kursus lainnya,” ujar Erwin sembari meletakan dua lembar borang yang sudah diisi dengan biodata Tamara.
Gerakan tangan Tania terhenti. Wanita itu mengurungkan niat mengesap minuman dari cangkir yang tanpa sadar dia letakan di atas meja dengan sedikit hentakan.
“Dua?”
“Ya.” Erwin menjawab tanpa ragu kemudian duduk pada kursi yang berseberangan dengan Tania. “Aku rasa dua guru privat yang mengajar Tamara sejak tahun lalu kurang kompeten. Aku akan coba mencari guru yang lebih baik.”
“Guru baru? Erwin, kamu tau nama dua guru yang mengajar Tamara?” Tania berniat menguji suaminya.
“Bu Denisa dan Bu Ghina,” jawab Erwin santai.
“Ya. Dan Tamara suka cara mengajar dua guru itu. Kamu seharusnya minta pendapatnya sebelum memutuskan hal sepenting ini sebab dia yang akan menjalaninya, bukan kamu.” Tania berusaha mempengaruhi keputusan gegabah suaminya. “Kalau Tamara belajar dengan guru, dia harus beradaptasi lagi. Bagaimana kalau dia tidak suka dengan guru barunya?”
“Suka atau tidak itu bukan masalah. Masalahnya adalah aku menilai dua guru muda itu tidak cukup baik untuk Tamara.”
“Oke, aku mengalah.” Tania mengangkat kedua tangan. “Kamu bisa ganti kedua guru itu. Tapi tentang mendaftarkan Tamara ke dua lembaga kursus lain, tolong kamu pikirkan sekali lagi. Tamara hanya sempat tidur empat jam sehari dan itu jauh dari porsi tidur normal.”
“Dia mengawali masa SMP dengan peringkat yang tidak terlalu bagus, Tania.”
“Dia berhasil menempati peringkat tiga dengan segudang kesibukan di OSIS, tim OSN dan klub karya ilmiah remaja pada tahun pertama, Erwin! Dengan semua kesibukan itu dia berhasil masuk tiga besar dan tidak pernah membolos. Tidak bisakah kamu hargai dia dan biarkan dia beristirahat?”
“Aku menemui Ayahku—”
“Jadi lagi-lagi ini tentang Ayahmu?”
“Jaga ucapanmu, Tania. Dia ayah mertuamu.”
“Dan Tamara adalah anakmu. Dan aku adalah istrimu.” Tania memberi penekanan pada akhir kalimat yang dia ucapkan. “Sudah hampir empat tahun berlalu sejak Ayahmu nekat menemui Tamara. Selama empat tahun kita baik-baik saja. Karena apa? Karena pengorbanan Tamara menuruti semua kemauanmu untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal. Dan sekarang hanya karena Tamara tidak menempati peringkat satu, kamu takut Ayahmu akan datang? Kenapa tidak kamu hadapi saja? Kamu tidak bisa terus melarikan diri dan bersembunyi. Aku tidak bisa. Aku tidak ingin Tamara seperti itu.”
“Tania, aku tidak bisa. Aku tidak siap.”