The Throne

Mentari
Chapter #35

Gigih

“Berhenti.”

Gigih spontan mematung dengan kedua lengan terbentang membelah udara dan tubuh bagian atas yang dicondongkan sedikit ke atas menghadap langit cerah.

Tamara beranjak dari bangku. Ketika gadis itu sudah berdiri di hadapan Gigih, Gigih masih mempertahankan posisinya.

“Kita sudah latihan adegan ini berkali-kali tapi aku merasa masih ada yang kurang,” komentar Tamara sambil menepuk lengan Gigih bergantian, meminta lelaki itu berhenti berpose. “Kamu hapal betul dialog sejak awal. Pelafalanmu memang tidak sempurna tapi sangat minim kesalahan, hanya di bagian ini dan ini.” Tamara menunjuk kata ‘have’ dan ‘perfect’ pada naskah milik Gigih yang sudah ditandai dengan lingkaran merah. “Kamu tau apa yang salah?”

“Penghayatanku?” Gigih menebak.

“Betul.” Jemari Tamara menari di udara. “Penghayatan. Kalau dialog adalah raga, maka penghayatan adalah nyawanya. Pantas saja sedari tadi aku tidak merasakan getaran apapun.”

“Getaran? Getaran... seperti apa?”

“Getaran seperti... Kamu tau, ketika kamu marah penonton ikut merasa kesal, ketika kamu sedih penonton ikut menitikan air mata, ketika kamu bahagia penonton ikut bersorak. Getaran seperti itu.”

“Harus sampai seperti itu? Sedramatis itu?”

“Akan lebih baik jika bisa sampai seperti itu. Drama Peterpan memiliki banyak emosi. Kebahagiaan karena cinta dan persahabatan, kesedihan karena perpisahan, gejolak akibat pengkhianatan, semuanya ada di situ.” Tamara menggeleng. “Tapi aku juga tidak tau bagaimana untuk bisa menjadi seperti itu. Di kelasmu ada yang ikut klub ekskul teater?”

“Tidak ada.”

“Teman-temanmu tidak berkomentar apa-apa tentang penampilanmu ketika latihan bersama?”

“Sebenarnya aku sudah lama bermasalah dengan penghayatan tapi teman-teman bilang aku sudah semakin baik.” Gigih mengusap punuk. “Tapi sepertinya masih belum cukup baik karena kamu belum merasakan getarannya.”

Tamara memeriksa bandul jam tangan.

“Sebentar lagi waktu istirahat selesai,” terang Tamara. “Sebaiknya kamu segera kembali ke kelas. Setauku, Kak Rosa dari kelas XII-A 2 pernah ikut bermain dalam beberapa pertunjukan klub ekskul teater. Kamu bisa minta saran darinya.”

Langkah kaki Gigih terhenti saat Tamara berbelok dan menaiki tangga tribun lalu duduk pada bangku di barisan paling belakang.

“Kamu tidak ke kelas?”

Tamara tidak melepaskan pandangan dari Gigih yang tanpa dia sadari mengekorinya. Lelaki itu kemudian menjatuhkan diri di atas bangku sisi kanan bangku Tamara.

“Kelas kosong?”

“Begitulah,” jawab Gigih. “Mamamu akan datang pada acara kelulusan?”

Tamara spontan memburu Gigih dengan tatapan yang berhasil membuat lelaki jangkung itu melompat rendah dari bangku.

“Mamaku? Kamu hanya menanyakan tentang Mamaku?” Tamara memperjelas pertanyaannya. “Kenapa kamu tidak menanyakan soal Papaku?”

Dalam hati Gigih memaki diri sendiri. Dia lupa gadis itu tidak pernah secara jelas memberitau status kedua orang tuanya.

“Itu, kamu pernah tanya soal—”

“Soal pernikahan? Perpisahan? Waktu kita sedang mengobrol di depan ruang BK?” sela Tamara. “Kamu mengira orang tuaku berpisah karena kita membahasnya? Tidak semua orang membahas pengalaman hidupnya. Aku bisa saja membicarakan perpisahan orang tua temanku seperti kamu membicarakan perpisahan orang tua Bono.”

“Aku... aku penasaran.” Gigih mengaku.

“Jadi kamu mencaritau?”

“Aku bertanya pada teman sekelas yang dulu satu sekolah denganmu. Dia bilang orang tuamu sudah berpisah.” Gigih menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya yang menyatu. “Sejak pembicaraan kita waktu itu, aku mencaritau karena aku takut sudah salah bicara. Aku minta maaf, Ra.”

Kepala Gigih kembali tegak ketika tawa rendah Tamara mengudara.

“Mereka memang sudah berpisah.” Tamara memandang jauh hamparan tanah kemerahan dengan hiasan beberapa garis putih sebagai pembatas lintasan. “Tapi kami baik-baik saja. Mamaku akan datang. Dia sudah berjanji.”

Gigih menghembuskan napas lega saat Tamara memberinya seulas senyum tipis.

“Bagaimana dengan adikmu? Dia akan datang?” tanya Tamara.

“Dia ingin datang. Dia ingin melihatmu.”

“Melihatku?”

Gigih mengangguk mentap.

“Kakaknya memainkan peran utama dan dia ingin datang karena ingin melihatku?” Tamara terkekeh. “Sebaiknya kamu memberitau Iren kalau aku tidak akan tampil. Aku hanya seorang narator. Dia tidak akan bisa melihatku dari bangku penonton. Aku tidak ingin dia datang dengan ekspektasi tinggi dan berujung kecewa.”

“Ketika aku katakan padanya bahwa kamu berperan sebagai narator, dia justru semakin ingin datang,” kilah Gigih. “Menurutnya peran narator itu sangat penting. Dia juga mengatakan suaramu memang sangat cocok untuk peran itu.”

“Jangan membual.” Tamara mendadak sewot.

“Aku tidak membual,” sanggah Gigih. “Eh, Tamara.”

“Hm?”

“Kamu... meminta Papamu untuk datang?”

“Inginnya begitu.” Tamara mendesah gusar. “Aku diam-diam mengirimkan surat untuk Papa dan sampai saat ini belum ada balasan. Tidak mungkin aku diam-diam memintanya datang ke Indonesia hanya untuk menonton pentas drama dengan suaraku sebagai bagian dari musik latar belakang.”

Kerutan pada pangkal hidung Gigih mndorong Tamara untuk buru-buru menjelaskan.

“Dua tahun yang lalu Papa pergi ke Amerika Serikat. San Fransisco lebih tepatnya.”

Gigih meng-oh takjub. Dia membayangkan peta Amerika Serikat. Gambar jembatan, menara, dan gedung pencakar langit yang sering dia temukan di buku geografi satu per satu bermunculan di udara.

 “Aku tidak pernah ingin ada yang tau orang tuaku berpisah. Aku menganggapnya sebagai kelemahan dan aku tidak ingin orang tau kelemahanku.” Tamara menopang tubuh mungilnya dengan kedua tangan yang dia posisikan di belakang punggung. “Berita perpisahan kedua orang tuaku menyebar begitu saja. Beberapa anak di angkatanku menuduh orang tuaku melakukan hal yang tidak-tidak sehingga mereka berpisah. Mereka mengatakan orang tuaku gagal menjadi orang tua. Mereka terus mengatakannya seolah mereka mendukungku agar tidak bersedih dengan menunjukan bahwa perpisahan orang tuaku murni karena kesalahan mereka dan tidak ada hubungannya denganku.”

“Tidak mungkin.”

Gigih berdecak sambil menggeleng.

“Apa yang tidak mungkin?”

“Orang tuamu tidak mungkin gagal sebab mereka berhasil membesarkanmu menjadi anak yang begitu hebat dan luar biasa.”

Senyum Gigih kian mengembang seiring kedua mata Tamara semakin cepat mengerjap. Baru saja seringainya hendak terbit, Gigih justru mengaduh saat kepalan tangan Tamara bersarang di lengannya.

“Dasar gombal!”

**

Alunan suara saksofon memainkan melodi “Memory” mengisi jarak antara Tamara dan Papa. Memasuki jalan layang, ketiadaan perbincangan semakin terasa. Suasana semakin canggung dan tidak satu pun di antara keduanya bermaksud memulai pembicaraan.

Pada malam sebelumnya, Papa diberitau oleh sang mantan istri bahwa Tamara kelewat bahagia mendengar kabar kembalinya dia ke Indonesia meskipun hanya sementara. Papa mengira Tamara akan menyambutnya dengan pelukan hangat. Papa mengira putri semata wayangnya akan mencerita kehidupan sekolah dan pertemanannya selama mereka menghabiskan waktu bersama setelah berpisah selama dua tahun. Dengan fakta bahwa Tamara sempat mengiriminya surat, Papa merasa pantas mendambakan acara temu kangen yang lebih hangat dan bersahabat dari sekadar menikmati permainan saksofon Kenny G dengan khusyuk dalam mobil.

Tamara nyatanya menelan mentah-mentah pernyataan Mama yang mengatakan bahwa Papa telah berubah menjadi lebih bersahabat. Tamara menghabiskan waktu semalaman memikirkan apa yang harus dia katakan kepada lelaki yang sempat dia benci selama dua tahun terakhir. Tamara mengira Papa akan mengundangnya ke dalam pembicaraan menyenangkan orang dewasa tentang pekerjaan atau hal serius yang ramai dan menantang untuk diperbincangkan. Kenyataannya Papa masih orang yang sama: pria kaku yang kesulitan menjalin pembicaraan.

Begitu sampai di depan rumah penuh kenangan, Papa hanya membunyikan klakson. Pria itu memang sejak awal tidak berniat turun dari mobil untuk menjemput putri semata wayangnya dan meminta izin kepada sang mantan istri untuk membawanya pergi selama satu hari sekalipun hanya untuk basa-basi. Begitu mobil hitam mengkilap itu memasuki jalan besar, alunan suara saksofon mulai mengisi kekosongan. Ribuan detik setelahnya, keadaan tidak berubah signifikan.

“Papa tidak membalas suratku.”

“Hm?”

“Papa tidak membalas suratku dan tiba-tiba menemuiku.” Tamara menoleh ke kanan. “Apakah kedatangan Papa ke Indonesia seharusnya menjadi kejutan? Seperti kejutan ulang tahun namun tanpa balon, kue, dan acara tiup lilin?”

“Tidak juga, karena aku tau kamu tidak suka hal-hal tidak terduga seperti kejutan.” Papa berkomentar. “Kamu masih ingat, kamu pernah marah besar saat tau aku dan mamamu merencanakan pesta ulang tahun yang kelima diam-diam?”

Lihat selengkapnya