“Huft, akhirnya kita dapat tempat parkir.”
Mama menarik pedal rem sambil melirik sekilas ke arah Tamara sedari tadi sibuk berkutat dengan ponsel.
“Tamara?”
Hingga percobaan ketiga, Tamara tidak kunjung merespon. Tamara baru melepas pandangan dari layar laptop saat Mama menepuk pundaknya.
“Aku sedikit gugup. Jadi aku mendengar beberapa musik klasik untuk menenangkan diri.” Tamara melepas headset hitam yang sedari tadi dikenakan dan menyimpannya di dalam tas.
“Pantas kamu tidak menggubris Mama dari tadi. Lagipula untuk apa, sih kamu pakai jubah bertudung begitu?” Mama memijat dahi. “Mama bersusah payah menata rambutmu, ujung-ujungnya ditutupi. Tema acara ini, kan “Negeri Dongeng”. Lihat.” Mama menunjuk keterangan tema acara yang tercantum dalam undangan. “Ne-ge-ri do-ngeng.”
“Iya, Ma. Aku bisa baca. Tapi Mama mendandaniku terlalu berlebihan. Aku tidak suka terlihat mencolok. Toh aku tidak akan tampil di atas panggung.”
Awalnya Tamara nekat masuk ke dalam mobil dalam balutan kemeja putih yang dirangkap dengan jaket motif army dan celana jeans. Rambutnya ditata seperti biasa, kuncir buntut kuda. Melihat Tamara berdandan seadanya, Mama langsung turun tangan. Tamara dipaksa mengenakan terusan biru muda dengan renda di bagian lengan dan leher lengkap dengan sepasang sepatu model fantofel warna putih dengan tumit setinggi tiga senti. Sebagian rambut Tamara yang tidak terlalu panjang dikuncir ke belakang dan dibuat bergelombang. Tidak lupa Mama menyematkan pita biru sebagai pemanis dan memberi sedikit riasan pada wajah putri semata wayangnya.
“Mana mungkin Mama membiarkanmu mempermalukan diri sendiri dengan memakai kostum yang salah pada acara sepenting ini.” Mama melepas sabuk pengaman. “Dari mana kamu dapatkan jubah itu? Kamu lebih terlihat seperti tamu pesta Hallowen.”
“Aku memakainya pada pagelaran seni tahunan saat kelas dua SMP.”
Pangkal alis Mama menyatu di pangkal hidung.
“Saat itu Mama tidak datang karena urusan yang sangat penting sampai-sampai memintaku tinggal sementara di rumah Oma.” Tamara memberi penekanan saat mengatakan ‘sangat penting’. “Seminggu setelahnya Mama baru menjemputku dan sejak saat itu Papa tidak pernah pulang.”
Mama menghela napas panjang. Pantas saja dia tidak pernah tau soal jubah hitam yang menutupi sekujur tubuh Tamara.
“Penyihir, kan tokoh negeri dongeng juga.” Tamara menambahkan.
“Memang. Tapi Mama tau sejak dulu kamu ingin didandani seperti kekasih tokoh dongeng kesukaanmu. Anggap saja malam ini Mama memainkan peran ibu peri yang telah bermurah hati mewujudkan impian masa kecilmu.”
Tamara melepas sabuk pengaman lalu mengikuti Mama yang sudah lebih dulu keluar dari mobil.
“Aku akan melepasnya nanti di dalam aula.”
Tamara sudah lebih dulu beralasan sebelum Mama sempat menceramahinya lagi.
Di sepanjang jalan menuju aula, berdiri papan berbentuk panah sebagai penunjuk jalan. Hiasan bernuansa negeri dongeng menghiasi setiap bagian sekolah turut memeriahkan suasana. Berbondong-bondong para wisudawan-wisudawati—dalam balutan gaun dan jas mewah—bersama wali masing-masing memasuki aula dan menempati kursi yang masih kosong. Tampak di dekat deretan kursi terdepan Pak Anton dan Pak Komar memberi sambutan hangat kepada walikota, kepala dinas pendidikan, ketua yayasan, kepala dan perwakilan dewan yayasan yang hadir sebagai tamu istimewa.
Satu jam sebelum acara dimulai, para penampil sudah bersiap-siap di belakang panggung. Ada yang melakukan pemanasan vokal secara berkelompok, saling memeriksa hapalan dialog, bahkan ada yang menyendiri di tempat sepi untuk menenangkan diri.
Sedikit ruang dekat pintu belakang aula disulap menjadi ruangan untuk menyimpan properti sementara di dekat ruang kendali tirai ditempatkan beberapa meja dan cermin serta beberapa perlengkapan berias.
“Mama akan menunggu di pintu masuk.”
“Jangan,” sanggah Tamara. “Mama tunggu di mobil saja. Aku harus membantu teman-temanku membereskan properti dulu jadi mungkin akan sedikit memakan waktu.”
“Oke.” Mama menatap intens kedua mata Tamara. “Jangan panik. Oke? Mama yakin kamu akan menampilkan yang terbaik.”
Setelah menemani Mama mencari kursi yang masih kosong, Tamara bergegas bergabung dengan teman sekelasnya yang sudah lebih dulu berkumpul di belakang panggung. Tamara memeriksa pelafalan beberapa bagian penting dialog masing-masing pemain, Ovi dibantu Fian dan blackman lain memeriksa kelengkapan properti, dan Anggun memimpin para pemain mengingat alur keluar-masuk panggung untuk yang terakhir kali sebelum tampil di hadapan ratusan tamu undangan.
“Baiklah, ini dia saatnya.” Tamara memandang satu per satu teman di hadapannya. “Jangan terlalu pikirkan tentang ‘lima terbaik’, lakukan saja yang terbaik. Tarik napas panjang saat diserang gugup, jangan sampai gugup menghilangkan ingatan dialog kalian. Aku yakin kita bisa. Hands in.”
Tamara meletakan sebelah tangan di tengah lingkaran dan spontan diikuti teman sekelasnya.
“Kelas XI-A5?”
“Semangat!!”
Acara kelulusan dibuka dengan sambutan hangat Olla dan Dito sebagai pembawa acara, diikuti sambutan Pak Komar selaku kepala sekolah, Ridwan sebagai perwakilan kelas XII, dan Gigih sebagai ketua OSIS sekaligus ketua panitia acara kelulusan.
Begitu selesai memberi sambutan, Gigih buru-buru berlari ke samping panggung.
“Wow, Tamara.” Gigih tampak takjub dengan jubah yang dikenakan Tamara. “Tokoh apa yang kamu perankan—Eh, tidak. Biarkan aku menebak. Mungkinkah kamu memainkan peran kepala hakim yang suka menghukum rakyat yang tidak patuh pada aturan kerajaan?”
Lagi-lagi Gigih mendapat serangan tinju Tamara.
“Kamu meledek, ya? Mana ada tokoh negeri dongeng seperti itu?”
Tamara mendengus kesal. Matanya terpejam beberapa saat sebelum kemudian kembali fokus pada naskah di hadapannya.
“Kelasmu maju urutan pertama?”
“He-em.”
“Kamu gugup?”
“Tidak pernah segugup ini.”
“Ikut aku.”
Tanpa bertanya, Tamara mengikuti Gigih berjalan mengendap-endap mendekati tirai. Lelaki itu menyikap sedikit bagian tengah tirai dan memberi ruang agar Tamara bisa mengintip.
“Barisan tengah kelima dari depan. Kursi ketiga dari kiri,” ucap Gigih. “Dia sangat menantikan hari ini. Dia berharap bisa menemuimu setelah acara selesai.”
Bukannya mereda, jantung Tamara justru berdetak kian kencang.
“Monologmu akan luar biasa. Penampilan kelasmu akan menjadi penampilan pembuka paling berkesan bagi setiap orang yang hadir di sini,” ujar Gigih yakin. “You’re the best, Ra.”
Tamara merasa takjub dengan lelaki berbalut kostum Peterpan di hadapannya yang tidak pernah kehabisan cara untuk memuji sekaligus mengingatkan betapa hebat dirinya.
“Thanks, Gih.”
Lampu aula perlahan padam, menyisakan lampu tengah panggung bersinar sendirian. Cahaya putih mulai menyoroti Kinan yang melangkah masuk dari sisi kanan panggung dengan suara Tamara membacakan narasi adegan satu sebagai suara latar. Menjelang akhir adegan satu, alunan musik dan suara hembusan angin, hujan deras, dan gemuruh gelombang laut mulai memenuhi aula. Kombinasi sorot lampu merah dan biru tua yang dibuat nyala-mati mengikuti dinamika suara musik latar menambah kesan dramatis.
Antusiasme para hadirin meningkat dan mencapai puncak pada adegan ketujuh. Dengan cekatan blackman mengganti properti menara istana dengan layar hitam berhiaskan bintang-bintang, permadani terbang, kapas, dan awan-awan sebelum tirai kembali terangkat. Angin buatan berhembus dari kipas angin besar yang ditempatkan di sisi kanan panggung bersamaan dengan mengalunnya musik latar “A Whole New World”. Begitu memasuki bagian chorus, asap putih menyebar memenuhi panggung. Kombinasi angin buatan, musik latar, efek asap, dan sorot lampu membantu Kinan dan Jelita bersinar semakin terang di atas panggung.
Satu per satu adegan terlewati hingga sampailah pada adegan terakhir. Musik latar peperangan dan sorot lampu merah menciptakan kesan menegangkan sepanjang adegan pertarungan Jafar dan Aladdin. Adegan terakhir berakhir dengan Kinan dan Jelita bertemu di tengah panggung dari sisi panggung yang berlawanan.
“And they lived, happily ever after.”
Pertunjukan ditutup dengan tarian seluruh pemain dan permainan lighting ciamik nan memukau yang berhasil mengundang setiap tamu undangan untuk bertepuk tangan. Beberapa bahkan sampai beranjak dari bangku dan mengudarakan siulan.
“Kita berhasil! Kita berhasil!” sorak Jelita sambil berlarian menuju belakang panggung lalu menyeka dahi yang dibasahi keringat dingin. “Ini semua berkat Tamara.”
“Bukan.” Tamara menggeleng. “Ini berkat para pemain yang memainkan peran mereka dengan sangat baik, berkat Anggun yang telaten mengajari para pemain, berkat Ovi dengan segudang ide membuat dekorasi dan properti, berkat para blackman,” Tamara memalingkan pandangan ke arah Fian dan beberapa teman yang berperan sebagai blackman, “yang sudah berusaha keras memindahkan properti dari satu adegan ke adegan dengan sangat cepat, rapi, dan tenang. Ini berkat kita semua.”
Selesai dengan penampilan ketujuh, penampilan “Hansel and Gretel” dari kelas XI-A2, pihak sekolah mengumumkan siswa-siswi kelas XII dengan prestasi gemilang sepanjang masa studi mereka di SMA Purna Bakti. Ridwan yang berhasil menyandang gelar juara umum sekaligus peraih nilai UN tertinggi di sekolah menjadi yang pertama kali diundang maju ke atas panggung dan diikuti sembilan belas siswa-siswi lain. Selain mendapat kehormatan bersalaman dan berfoto dengan seluruh tamu istimewa, sebagai lulusan terbaik Ridwan juga diberi kesempatan memberikan pidato kelulusan.
“Selamat dan semangat untuk semua teman-temanku. Kesuksesan telah menanti kita semua di ujung jalan,” ucap Ridwan mengakhiri pidatonya.
Tepuk tangan meriah dan sorak sorai bersemangat mengiringi langkah Ridwan dan kesembilan belas siswa-siswi lain menuruni panggung.
Sebelum tirai kembali terangkat dan lampu kembali dipadamkan menjelang penampilan penutup dari kelas XI-S3 dimulai, Tamara yang sedang asyik berbincang-bincang dengan Renata dan Bella di dekat pintu belakang dibuat penasaran dengan desas-desus panik anak-anak kelas XI-S3.
“Ada apa? Kenapa semua orang panik?” Bella masuk menyeruak kerumunan.