The Throne

Mentari
Chapter #37

Epilog

“Malam ini kita bahas paket soal A ya.”

“Oke.”

Selepas membahas soal-soal bahasa Inggris pada try out ujian nasional beberapa hari yang lalu, Gigih dan Tamara mampir ke kantin untuk membeli minuman dan langsung kembali ke kelas. Dalam perjalanan menuju gedung kelas reguler, perhatian Gigih teralihkan oleh poster yang tertempel di mading lorong.

“Wah, sepertinya menarik.” Gigih menunjuk kalimat yang dicetak tebal di bagian bawah tulisan ‘pengumuman’ yang ditulis dengan huruf kapital. “Dibuka pendaftaran ketua tim buku tahunan bagi siswa-siswi kelas XII.”

“Kalau untuk buku tahunan, kupikir akan lebih lebih berkesan kalau fotonya diambil di tempat-tempat ikonik yang ada di sekolah,” komentar Tamara.

“Menurutku akan lebih bagus kalau fotonya diambil di luar sekolah.” Gigih mengusap dagu. “Pertama, temanya bisa lebih beragam. Kedua, masing-masing dari kita sepertinya sudah punya cukup foto kebersamaan di sekolah. Ketiga, foto buku tahunan seharusnya menjadi momen untuk kita mencoba sesuatu yang baru.”

“Idemu itu bisa membuat anggaran buku tahunan membengkak.” Tamara menyanggah. “Kamu harus perhitungkan biaya sewa tempat atau studio untuk pengambilan foto. Ditambah kostum juga harus menyesuaikan. Bagaimana kalau tidak punya baju yang sesuai dengan tema? Harus beli? Akan sangat merepotkan dan memberatkan. Bisa-bisa beberapa teman kita memilih untuk tidak ikut dan itu tidak adil untuk mereka.”

“Ada banyak tempat dengan biaya sewa terjangkau kok. Studio foto juga banyak yang ramah di kantong pelajar.” Gigih mulai tidak mau kalah. “Justru itu fungsinya panitia, untuk survey lapangan. Sementara untuk kostum, kita bisa beri kebebasan ke setiap kelas untuk menentukan tema foto tahunan yang sesuai dengan kemampuan mereka.”

“Bagaimana kalau kemudian temanya terlalu acak dan tidak ada kaitan antara tema satu kelas dengan kelas lain? Konsep buku tahunannya akan terlalu meluas.”

“Yang pasti tema sekolahan itu terlalu biasa.”

Lihat selengkapnya