The Time Traveler's Quest

Arumi Sekar
Chapter #1

Awal

Hai, nama gue Lula. Gue seorang Ibu dari dua orang anak cewek manis-manis, tapi kalau tidur doang. Gue memutuskan menjadi housewife sekitar 5 tahun ini, semenjak anak kedua gue lahir. Sejujurnya gue masih pengen kerja, tapi pengennya punya bos yang baik, gajinya gede, trus bisa sambil ongkang-ongkang kaki aja, duit gajinya ditransfer tiap bulan. Mana ada….

Suami gue seorang Departemen Head of Engineer di sebuah perusahaan perbankan swasta besar di Indonesia. Namun, hubungan gue dan suami gue sedang diuji dalam pernikahan kami yang keempat belas tahun ini. Iya, 14 tahun. Salah besar survei-survei katanya-katanya itu, kalau pernikahan akan diuji di usia ke 5 tahun. (Lo pasti pernah denger kan, orang-orang bilang, usia pernikahan rawan di usia ke 5?)

Nyatanya, gue diuji di pernikahan ke 14 tahun. Iya, rambut gue dan suami udah mulai ubanan. Hidup kita settle. At least, itu yang gue rasakan.

Kedua anak kami bersekolah di sekolahan yang bagus di daerah Bintaro. Kami sama sekali sudah di tahap tidak mencemaskan dana apapun. Dana darurat ada, dana pendidikan ada, dana asuransi ada, dana liburan selalu ada, dan dana apapun yang lo semua masih kumpulkan di usia pernikahan lo yang mungkin masih under 5 tahun, gue semua sudah ada di taraf itu.

Gue udah nggak perlu mencemaskan kehidupan gue selama bertahun-tahun mendatang. Rumah tinggal kami pun ada dua. Walaupun salah satunya warisan, gue tidak pernah mencemaskan apapun. Gue senang dengan kehidupan gue waktu itu. Suami gue pun orang yang meskipun sering banget pulang malem karena pekerjaannya, selalu kasih gue jatah nafkah lahir dan batin yang cukup.

Semuanya begitu indah, dan gue terlena, sampai, suatu ketika anak perempuan gue nanya sama gue siang bolong setelah pulang sekolah.

“Ma, besok, Mama aja yang anter aku sekolah ya?” tanya Nadia, anak gue yang pertama.

Gue ngeliat Nadia. Nadia anak yang cukup tinggi untuk anak seusianya. Meskipun kurus seperti gue. Asal nggak bernasib apes seperti gue saja, hehe. Dia masih sekolah kelas 5 SD.

“Naik apa, neng? Kita cuma ada motor dan mobil. Mobilnya kan dipakek sama Papa. Kalau motor sampai sekolah kamu, kejauhan, Mama kan harus antar adik kamu, Sienna. Nggak mungkin bolak balik. Nggak cukup waktunya.” Kata gue sambil mempersiapkan makan siang buat Nadia.

Rumah mewah kami tak punya cukup banyak area untuk menampung dua mobil. Terlebih, untuk merombak dan menambah mobil, perlulah memperlebar area garasi, yang mana akan menggerus taman gue yang paling gue sayang. Gue nggak mau. Akhirnya kami bertahan hanya dengan 1 mobil mewah buatan Eropa yang masih sanggup tanpa sopir dan juga satu buah motor matic yang bisa memainkan lagu dari HP jika lo menghubungkannya lewat bluetooth.

“Ya kalo gitu Sienna aja yang diantar sama Papa, aku aja yang diantar sama Mama.” Kata Nadia kemudian.

Lah, nyolot ni bocah umur 11 tahun. Lagaknya kaya ABG aja.

“Nggak bisa, Papa kan searah sama kamu sekalian jalan ke kantor.” Sahut gue lagi, tegas.

“NGGAK MAU! TITIK!” seru Nadia keras sambil berlari Kembali ke kamarnya.

Apa sih nih bocah? Nggak jelas. Gue tetap cuek Kembali memasak dan kemudian giliran anak gue yang kedua, Sienna datang. Dia baru berusia 5 tahun. Sudah paham aturan sederhana. Tapi suka nanya-nanya hal yang nggak penting.

“Ma, di luar lagi hujan kan. Kok bisa ya Ma?” tanya Sienna lagi.

Gue, bukannya nggak bisa jawab. Gue bahkan tahu proses sains-nya. Masalahnya gue males jawab pertanyaan itu sama dia. Emangnya dia paham penjelasan gue?

“Karena Tuhan lagi mandi, sayang.” kata gue seenak jidat.

Lihat selengkapnya