The Time Traveler's Quest

Arumi Sekar
Chapter #5

Si Berbaju Cokelat

Gue berjalan pelan menuju toilet yang tidak jauh letaknya dari Kitchenette. Orang itu masih berdiri di sana, mengawasi gue. Rasa penasaran gue, membuat gue nggak bisa tinggal diam. Gue akan datengin kalau kelar dari toilet.

Keluar dari toilet, dia masih berada di sana. Berdiri mematung. Dia cukup nyentrik dan menarik perhatian menurut gue. Namun, sepertinya orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya, tampak biasa saja. Padahal, kalo gue liat, dia itu benar-benar nggak seperti orang Indonesia. Blasteran? Bule? Juga antara iya dan enggak. Gue nggak bisa memastikan. Kacamatanya cukup membuat dirinya itu, tampak misterius dan menyembunyikan seluruh ekspresi sekaligus bentuk wajahnya.

“Hai…” sapa gue sambil mendekatinya.

Dia cuma tersenyum membalas senyuman gue. Senyumnya indah dan cantik. Gue yang melihatnya pun sampai terpana.

“Maaf, kita pernah ketemu sebelumnya?” tanya gue padanya.

Dia cuma tersenyum lagi. Keki nggak gue?

“Jujur ya, saya pernah lihat kamu di depan rumah saya. Sekarang saya lihat kamu di sini. Kamu mata-matain saya ya?” tanya gue, PEDE.

Orang itu hanya tersenyum lagi. Makin kesel, akhirnya gue berbalik Kembali ke Kitchenette.

“Tunggu ya, Kalula. Belum saatnya,” kata orang itu saat gue udah memunggunginya.

Suaranya mendayu, hampir seperti menyanyi. Namun enggak juga sih. Lebih ke kaya ngasih tahu gue dengan intonasi yang halus. Anehnya, entah kenapa gue menurut setelah dia berkata begitu. Gue segera kembali lagi ke meja gue di dalam Kitchenette. Saat gue duduk, orang berbaju cokelat itu sudah pergi. Dia sudah tidak ada di sana.

“Ada apa sih?” tanya Mitha heran. “Lo ngapain tadi di sana?”

Gue cuma menggeleng. Saat itu gue hendak berbicara soal pertemuan gue dengan manusia tadi, namun rasanya susah banget. Seperti ada yang menahan suara gue keluar. Dan lebih anehnya, Mitha dan Yosi tak bertanya lebih lanjut. Mereka nggak kepo apa, gue abis maki-maki orang di seberang sana. Dari sini harusnya mereka juga bisa lihat.

***

Gue melewatkan sisa hari Jumat itu tanpa ada hal yang berarti. Suami gue tetap pulang malam. Gue masih belum mulai berkonfrontasi lagi secara langsung. Karena apa? Gue masih mikirin anak-anak gue. Tapi di malam itu, saat gue berdoa, gue menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan apa yang selama ini gue tahan. Entah karena suasana yang sunyi dan khusyuk, membuat gue terbawa perasaan pada Tuhan gue.

Gue mengeluh. Semua wanita pasti menginginkan pernikahan yang indah. Tak perlu mewah. Yang penting bahagia. Bertemu dengan Tama bertahun-tahun lalu setelah melewati beberapa laki-laki yang datang dan pergi. Mungkin kadang gue mikirnya terlalu cepat memutuskan menikah dengannya saat itu. Tapi itu udah 14 tahun berlalu. Yang mana, gue nggak mungkin sesali lagi. Gue kudu menjalaninya. Yang saat ini gue pikirkan adalah anak-anak gue. Dan penghasilan gue meskipun cukup lumayan, apakah bisa menanggung mereka berdua sendirian? Gue udah mikir yang terburuk sih sebenernya akhir-akhir ini.

“Ma, kapan kita ke Taman Safari?” tanya anak gue yang paling kecil, Sienna, pagi hari di hari Sabtu.

“Hmmm, Sienna mau ke sana?” timpal gue.

“Mau sekarang?” tanya suami gue tiba-tiba.

Gue melihat ke arahnya dengan heran. Tumben. Biasanya untuk ngajak pergi ke tempat wisata, gue harus berhari-hari membujuknya. Selain itu, gue kudu bikin list plan ngapain aja, berapa biayanya dan lain-lain. Even lebih sering acara wisata selalu pakai duit gue sebagai virtual assistant, suami gue selalu mau detail acara melebihi gue yang punya duit. Buat dia, berlibur itu membuang-buang uang. Sedangkan buat gue, liburan itu semacam recharge energy.

“Iya, sekarang. Masih keburu kalau berangkat sekarang. Makanya ayo siap-siap. Ajak kakakmu sana. Mba Sus juga ikut ya. Bawa bekel aja, jadi bisa sarapan atau sekedar ngemil di mobil. Siangnya kita makan di daerah sana aja,” ajak suami gue.

Sienna yang udah kegirangan langsung ke kamarnya tanpa memperdulikan persetujuan gue. Sebenernya gue malas untuk bepergian saat kondisi rumah tangga gue seperti ini. Tapi karena Sienna udah kepalang senang, gue nggak bisa berkutik. Sienna bahkan teriak-teriak memanggil kakaknya. Padahal, Taman Safari udah beberapa kali dikunjunginya. Ditambah hari ini, akan menjadi yang keempat kali bagi Sienna. Tapi anak itu tak pernah merasa bosan.

Kesenangan kali ini menjadi tidak adil bagi gue. Karena Tama sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan gue minggu sebelumnya. Bahkan sikap diam gue diartikan dia sebagai ngambek yang biasa. Nanti juga baik sendiri.

***

Dalam waktu setengah jam, kami berlima sudah berada di dalam mobil. Kalau jalan-jalan, biasanya Nadia akan paling antusias duduk di depan bersebelahan dengan Tama. Tapi kali ini dia memilih duduk di deretan kedua, bersama Sienna dan Mba Sus. Mau nggak mau, gue yang kudu bersebelahan dengan Tama. Dan seperti biasa, Tama pun tidak merasakan hal yang aneh pada perubahan sikap Nadia pada dirinya. Emang laki gue badak kali ya. Pantesan perasaan gue aja nggak pernah dipedulikannya.

Sepanjang perjalanan, gue pura-pura tidur sambil memakai wireless earphone. Males denger dan lihat sikap seolah tak terjadi apa-apa milik Tama. Nadia juga begitu, dia malah sibuk main game di N*ntendo switch warna pinknya. Yang paling antusias dan penuh energi, tentu saja Sienna. Mba Sus mengimbangi dengan kadang ikut bernyanyi, kadang memberikan informasi-informasi berguna untuk Sienna, seperti apa itu excavator, apa itu jalan layang, kenapa ada jalan tol, truk molen itu buat apa dan lain sebagainya. Gue kadang takjub sama pengetahuan-pengetahuan aneh ART gue itu. Kaya sekarang, gue pikir dia pernah jadi kuli bangunan jalan tol Jakarta-Bogor, hahahah.

Tama, beberapa kali membalas chat dengan cepat, gue lihat dengan sudut mata gue. Kadang menerima telepon terkait pekerjaannya. Maklum, dept head. Gue maklum (dulu). Sampai kadang gue bingung, telepon gue bisa nggak diangkat meski gue udah nelepon berkali-kali, dengan alasan lagi nyetir, tapi orang-orang ini, jika meneleponnya akan tetap diangkatnya, meskipun sedang menyetir dan menuju ke liburan keluarga.

Kalau gue protes, alasannya dia akan bilang, kan gue cari uang.

Jadi menurut kesimpulan sinis gue, gue adalah nomor sekian yang dianggapnya penting. Karena tidak menghasilkan uang untuk dirinya. Tapi hei, gue menghasilkan uang buat diri gue sendiri dan anak-anak. Seenggaknya gue nggak full minta-minta sama lo.

Antrian masuk ke Taman Safari sudah sedikit mengular. Namun belum terlalu parah. Gue berharap cepet masuk, keliling satu putaran, nemenin anak-anak main di spot-spot oke, terus kita cabut makan siang. Menjelang sore atau malam gue udah berharap masuk ke dalam rumah dan istirahat. Besok adalah hari Minggu, dan Tama mungkin ada di rumah. Dan gue males melihatnya berkeliaran di dalam rumah dengan permainan sandiwaranya

Setelah keliling di zona hewan, suami gue memarkirkan mobilnya di area parkir. Alasannya anak-anak ingin melihat zona rekreasi. Gue sih no complain. Biarin aja. Hari ini gue pengen lihat gimana cara dia akan urus anak-anak gue. Lo pikir punya dua anak cewek gampang? No. Apalagi kalau keduanya lagi drama. Gue pun dengan sikap tak peduli mengikuti di bagian paling belakang sambil chat di group sahabat-sahabat gue, Mitha dan Yosi.

Mitha: Kalian masih marahan?

Yosi: Menurut lo? Kalo gue sih udah kebakaran jenggot. Ibu satu ini aja yang kalem.

Gue: Sejujurnya gue nggak kalem. Gue lagi memikirkan strategi apa yang cocok untuk menghadapi tukang bohong seperti dia.

Lihat selengkapnya