Keputusan gue akhirnya bulat. Mencari tahu soal Pita pada Narita. Atau setidaknya minta bantuan dia. Semua hal itu gue putuskan dalam satu malam. Karena Tama nggak ada tanda-tanda untuk sekedar menghargai kehadiran gue. Dia bahkan beberapa kali membalas chat Pita di dekat gue dengan santai. Setiap kali gue merebut handphonenya pun, selalu gagal. Dia selalu bebas mengelak bahwa itu urusan kantor.
Apalagi kejadian di Taman Safari masih membekas dalam ingatan gue. Bisa-bisanya dia menerima telepon Pita saat kami bertamasya atas nama keluarga?
Ngomong-ngomong soal Taman Safari. Gue jadi sedikit bergidik ngeri. Karena, Nadia sama sekali tidak melihat kehadiran Daksa di sekitarnya saat dia menunggu kedatangan gue di dekat pintu masuk curug jaksa. Padahal, gue jelas melihat Daksa benar-benar ada di dekatnya. Bahkan gue udah berulang kali menanyakan hal itu pada Nadia, dan dia tetap yakin tidak ada seorangpun yang menemaninya menunggu.
Selain dandanannya yang nyentrik, gue bahkan bisa mendeskripsikan Daksa secara detail. Dia seperti wanita atau laki-laki pada umumnya. Mungkin, tidak secara umum. Karena fisiknya tinggi, kulitnya bersih. Bahkan hidungnya yang mancung dan bibir tipisnya tidak mirip seperti orang Indonesia. Semuanya jelas. Benar-benar tampak jelas di depan gue. Layaknya gue melihat Nadia atau orang lain. Namun kenapa Nadia, Tama bahkan yang lainnya tidak bisa melihat kehadiran Daksa? Secepat itukah dia pergi bahkan Nadia pun tak menyadari kehadirannya. Atau karena Nadia terlalu sibuk main handphone?
“Hai….!” sapa Narita.
Saat itu menjelang makan siang. Gue bertemu Narita di McD*nalds dekat sekolah Nadia. Narita hanya mengenakan jeans dan kaos. Blazernya hanya dibawanya dengan tangan. Narita cukup terkenal di kalangan pembawa berita televisi. Itulah kenapa dia memakai masker. Mungkin untuk menutup identitasnya dengan bebas di tempat umum seperti ini.
Narita berwajah kearab-araban dan dipotong cepak seperti model pixie atau semacamnya. Rambutnya diwarnai dengan warna ash grey yang cocok dengan kulitnya yang terang. Coba gue yang berdandan seperti itu, bakalan dikira ayam kampung kecebur tinta abu-abu.
“Sorry, gue abis ini sekalian jalan ke studio ya, jadi maaf banget gue agak rapi,” kata Narita sambil meletakkan blazernya di kursinya. “Gue pesen makan dulu.”
Setelah beberapa lama, Narita kembali duduk di hadapan gue. Gue sudah selesai makan saat itu. Hanya menyisakan kentang goreng dan minuman softdrink gue yang tinggal setengah.
“So?” tanya Narita sambil menatap gue.
“Sebelum gue cerita. Gue minta tolong banget sama lo, untuk jaga rahasia. Setelah itu, sebenarnya, gue ada mau minta tolong sama lo,” jawab gue memulai pembicaraan.
Narita memakan burgernya dengan kalem. Khas selebriti televisi. Sedikit-sedikit, untuk tetap menjaga image. Beberapa orang memperhatikannya dengan kikuk, mungkin merasa mengenali wajah Narita yang familiar.
“Silahkan….” kata Narita kemudian, mempersilahkan gue untuk berbicara.
“Gue nggak kenal Pita sebenernya. Tapi…”