Sesuai pengarahan Narita, gue menghubungi Saskia. Siapa Saskia itu? Dia semacam detektif yang udah biasa ngurus masalah kaya ginian. Selain detektif, dia juga seorang psikiater. Sampai gue akan memakai jasanya sebagai seorang psikiater, Saskia tetap akan memberi nama samarannya pada gue. Ya, Saskia adalah sebuah nama samaran. Karena psikiater adalah sebuah profesi yang legal dan dia sudah memiliki nama yang cukup beken di kalangan mental illness, gue tidak bisa menemuinya sembarangan saat dia menjadi seorang detektif. Dia bener-bener bergerak di bawah radar. Dan jaringannya cukup luas. Banyak kalangan atas yang memakai jasanya.
Sebagai pengguna jasa detektif, tak banyak yang melanjutkan hingga tahap psikiater. Karena seperti yang sudah diterangkan oleh Saskia pula, banyak yang tetap mempertahankan pernikahannya demi anak. Perekonomian dan anak adalah salah satu alasan utama yang banyak dipertahankan perempuan.
Kata Saskia pula, jasanya sebagai psikiater biasanya akan dibutuhkan saat si pemakai jasa merasa ada korban yang dirugikan secara mental. Entah dirinya sendiri, entah anaknya, entah orang lain yang berhubungan dalam kasus itu.
Di kasus gue, Saskia menyarankan agar Nadia bisa bertemu dengannya saat Nadia dan gue sudah merasa siap. Nadia, sebagai saksi awal perselingkuhan Papanya, bisa saja merasa trauma. Gue tahu, karena Nadia pun saat ini telah banyak berubah sikap. Lebih banyak diam dan jarang bergabung saat kami makan bersama.
Semua itu diinformasikan Saskia lewat telepon dan email, setelah gue dan dia menandatangani semacam kontrak kerja yang cukup banyak pasal kerahasiaan, karena dia tidak mau ada tatap muka. Dia tidak mau mengambil resiko, karena pekerjaan sebagai detektif perselingkuhan, sangat bisa mengancam nyawanya. Apalagi jika kliennya adalah seorang kalangan atas yang memiliki banyak kuasa atas apapun.
Pada kasus Narita, kedua anak kembarnya akhirnya harus bertemu Saskia secara langsung. Begitupun Narita. Kata Saskia, ketiganya memiliki healing process yang cukup lama. Saskia memberikan Narita sebagai contoh kasus pada gue, karena gue dan Narita saling kenal. Kemudian anak-anak kami memiliki usia yang sama. Dan mereka, sama-sama menyaksikan perselingkuhan orangtuanya secara langsung. Meskipun masih dalam taraf ringan, karena tidak menyaksikan saat berhubungan intim atau bercumbu mesra. Namun, tetap saja, potret keluarga bahagia telah hancur dari pikiran mereka.
***
Suatu malam, gue mendapat email dari Saskia. Dia tidak menelepon, karena itu sudah tengah malam. Dia cuma mengirimkan WA pada gue, untuk membaca hasil penelusuran dia mengenai background keluarga Pita. Sedikit banyak dia tahu mengenai Pita dari Narita. Dan sisanya, dia mencari tahu sendiri selama beberapa hari.
Gue bahkan mendapatkan alamat tinggal Pita. Nama panggilan suaminya, hingga nama panggilan mertuanya. Namun, gue tidak mendapatkan nama lengkap mereka. Saskia tetap berusaha menyimpan hal itu karena itu termasuk privasi data. Takutnya, gue terbawa emosi dan menyalahgunakannya. Bukan hanya Pita bisa menuntut gue karena mencuri data pribadinya, namun jika dia menang, kehidupan gue bisa hancur sebelum berperang karena ulah gue sendiri.
Dari Saskia, gue banyak belajar mengenai kesabaran. Dia terus berulang-ulang mengatakan pada gue bahwa buah dari kesabaran itu rasanya manis.
Dulu, gue cuma anggap angin lalu peribahasa itu. Namun, sekarang, setelah gue banyak berpikir, itu ada benarnya. Gue nggak bisa gegabah melakukan apapun. Gue sebisa mungkin harus seflat mungkin menyikapi masalah, meskipun gue pasti menahan emosi.
Saskia menyarankan gue untuk olahraga kick boxing atau yoga. Manapun untuk meredam emosi gue yang selama itu gue tahan dan bisa private. Dia menyarankan jangan olahraga aerobic atau olahraga yang berkelompok lainnya. Karena itu akan memunculkan lingkungan toxic baru, di mana gue bisa aja terpengaruh dan keceplosan masalah rumah tangga gue. Dan, nggak semua orang akan ikut sedih atau mendukung keputusan-keputusan gue.
Halaman demi halaman yang dirincikan oleh Saskia dalam format pdf, membuat gue gentar untuk membaca. Gue butuh timing khusus. Dan gue nggak bisa memulainya malam ini. Tama masih bangun.
“Kok muka kamu serius banget?” tanya Tama, mengagetkan gue.
Gue langsung menutup semua aplikasi di handphone gue.
“Nggak papa. Cuma lagi baca artikel aja,” sahut gue datar.
“Say, yuk…!” Tama memberi isyarat pada gue untuk melakukan hubungan intim.
Gue pun akhirnya mengiyakan. Namun setelah selesai, Tama tidak langsung tidur. Dia menatap gue lekat-lekat.