The Time Traveler's Quest

Arumi Sekar
Chapter #8

Rumah Mertua

Gue ditemani Mitha, akhirnya memberanikan diri berjalan ke area rumah mertua Pita. Jujur, gue sendiri penasaran dengan rumah mertuanya yang katanya adalah orang kaya dan dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai juragan kontrakan Ibu Liliek. Seluruh tukang ojek, warung kelontong hingga warung nasi mengenal beliau karena orang-orang yang mengambil kontrakan petak kebanyakan pelanggan mereka-mereka juga.

Sebenarnya soal hal ini, gue sama sekali belum konsultasi dengan Saskia sama sekali. Gue tahu, bisa saja Saskia menentang gue untuk mendahului perkembangan situasinya. Apalagi bukti-bukti yang gue dapat belum kuat. Mitha pun mengingatkan gue untuk nggak gegabah kalau misalkan nanti bertemu atau melihat orang yang bernama Ibu Liliek tersebut.

Mitha berbekal menanyakan pada tukang ojek dan diberikan arahan untuk menuju salah satu rumah kontrakan Bu Liliek yang paling dekat dengan rumah tinggalnya. Ternyata setelah berjalan ke sana kemari, kontrakan petak yang dimiliki Bu Liliek hampir semuanya terletak di dalam perkampungan yang menempel dengan perumahan-perumahan.

Kontrakan Bu Liliek sepertinya diperuntukan untuk keluarga menengah ke bawah. Meskipun tampak bersih, kebanyakan yang mengontrak di sana adalah keluarga kecil atau karyawan pabrik yang bersama-sama mengontrak dalam satu tempat. Kontrakan itu berhadap-hadapan tanpa pagar dan berjumlah sekitar 30 pintu. 15 di kiri dan 15 di kanan. Beberapa kontrakan lain berjumlah kurang lebih sama dan bermodel sama.

“Mbak, yakin mau cari kontrakan daerah sini?” tanya si tukang ojek pada Mitha.

Mungkin, gesture tubuh Mitha yang tampak matang dan dari keluarga berkecukupan tampak terlihat jelas meskipun dia telah mengganti high heels nya dengan sandal jepit dan blazernya telah ditinggalkan dalam mobil yang kami kendarai. Mitha hanya menggunakan blouse longgar, celana bahan dan sandal jepit, tetap tak bisa mengecoh para tukang ojek itu.

“Saya baru keterima jadi resepsionis, Mang. Budget-nya terbatas!” sahut Mitha cuek.

“Oh gitu. Tapi daerah sini kebanyakan orang pabrik garmen sama mall. Mendingan di jalan cengkeh, di sana ada kontrakan Bu Liliek juga kok, yang bagusan. Banyak yang kantoran ngontrak di sana. Deket lagi sama tempat tinggal beliau. Jadi kalau ada apa-apa mah deket atuh,” sahut bapak-bapak itu.

Mitha menoleh padaku. “Gimana, Kak?”

“Oh ini kakaknya? Kok nggak mirip?” celetuk tukang ojek yang lain.

Aku mendengus. “Udah, daripada ngomen saya sama adik saya mirip apa enggak, siapa nih yang bisa anterin ke sana? Sekalian mau ke rumah Bu Liliek juga mau nego harga,” jawab gue, ketus.

“Udah sekalian aja sama saya, Mbak. Tapi kasih ongkos ya!” jawab bapak-bapak yang semula menanggapi kami sejak tadi.

“Beres atuh, Mang. Yuk!” seru Mitha sambil kembali ke sisi kemudi.

Tukang ojek itu berjalan pelan di depan kami, kadang memberi isyarat jika harus berbelok atau mengerem. Wajar, ini adalah gang sempit berukuran satu mobil yang harus bergantian dengan mobil lain. Kadang, ada anak-anak tiba-tiba nyelonong lewat berlarian tanpa pengawasan orangtua. Gue cukup bersyukur mengajak Mitha kali ini. Selain karena mobilnya kecil, dia cukup lihai membawa mobil di area seperti ini. Maklum saja, mantan sales lapangan di masa mudanya dulu.

“Gue masih cocok kan jadi adik lo?” kata Mitha sambil tertawa.

“Cocoklah. Lo kan kaya gue 10 tahun lalu waktu keterima jadi sekretarisnya bos awal-awal,” sahut gue.

“Ihhhh, sekarang masih kaya dulu kok. Cuma lebih buluk aja, HAHAHAH!” goda Mitha lagi.

“Sialan. Nggak usah diperjelas juga kali, Sis!”

“Ya abis gimana, dulu waktu gue pertama masuk untuk jadi asisten lo, gue takut setengah mati sama lo tauk!” seru Mitha.

“Hahahha, emang gue senyeremin itu?”

“PARAH! Diktator! Eh sekarang sahabatan, punya grup WA pula. Aneh emang idup gue!”

“Nggak hidup lo aja. Hidup gue juga. Malah menyedihkan kalo gue lihat.”

Mitha terdiam sejenak. “Lo nyesel nggak sih nikah sama Tama?”

Gue menarik napas.

“Sorry, bukan gue mau sok ikut campur ya. Maksud gue, hmmm, gimana yah?”

“Nyesel sih ada. Tapi tanpa dia, gue nggak akan punya Nadia dan Sienna.”

“Iya sih, bener juga.”

“Tapi kalau bisa memutar waktu, misal gue dulu ngeiyain orang lain. Apakah gue happy sama dia ya, Mith?”

Mitha melirik gue sekilas.

Lihat selengkapnya