The Time Traveler's Quest

Arumi Sekar
Chapter #9

Daksa

Gue mengantarkan Nadia sampai masuk ke dalam sekolah. Di sana gue melihat Pita, berada di depan kelas Arkan, menyerahkan bekal yang sepertinya ketinggalan. Nadia menggenggam erat tangan gue, seakan-akan menyuruh gue untuk tetap sabar, meskipun emosi gue langsung memuncak saat melihat wanita itu.

Melihat sekilas, tentu secara kasat mata, Pita tampak jauh lebih terawat dibanding gue. Benar kata Mitha, gue mungkin sekarang terlihat buluk. Untuk sekedar melabrak aja gue nggak cukup pede hari itu. Gue merasa gue kurang cantik. Sebagai istri sah bukannya gue akan merasa powerfull jika gue lebih dari dia?

Pita menyadari kehadiran gue dan tersenyum. Hijab bercorak abstract yang dipakainya tampaknya sama dengan corak hijab yang terakhir kali gue lihat. Gila, gue seperti obsessed banget tentang cewek ini, bahkan corak hijabnya aja gue inget banget.

“Bun, cantik banget anaknya,” puji Pita saat gue melintas.

Gue terhenti rasanya ingin memaki. Namun, gue tahan, karena gue sedang berada di sekolah.

“Terimakasih,” jawab gue dengan dingin, kemudian berjalan menuju parkiran, di mana motor gue berada.

Langit tampak tak bersahabat kala itu. Gue bisa memastikan kalau gue nggak cepat sampai ke rumah, gue pasti akan kehujanan.

Benar saja, baru 5 menit meninggalkan parkiran sekolah, gue harus menghadapi hujan badai dadakan. Gue yang tak siap dengan jas hujan, akhirnya memarkirkan motor gue di dekat ruko-ruko pinggir jalan yang bisa melindungi gue untuk sementara waktu.

Karena masih pagi, tak banyak yang berteduh di tempat yang sama dengan gue. Gue sendirian. Dan hujan sama sekali tak ada tanda-tanda untuk memberikan keramahannya pada gue beberapa menit sampai ke rumah. Akhirnya gue bertahan di ruko itu, menggigil dalam kedinginan.

Sebuah cardigan warna cokelat khaki tiba-tiba sudah menyelimuti gue. Gue menoleh dan melihat Daksa di sebelah gue persis. Dia tersenyum, menyapa gue tanpa berbicara.

“Lo lagi…,” kata gue.

Saat itu gue menyadari dia bukan manusia biasa. Bagaimana tidak, hujan begitu deras dan dia tiba-tiba muncul tanpa basah kuyup sedikitpun. Ruko-ruko yang belum dibuka oleh pemiliknya ini karena masih pagi, tampak sepi. Bahkan mobil pun tak ada yang terparkir. Hanya motor gue yang bersandar dengan kokohnya, basah karena guyuran hujan yang bertubi-tubi. Gue pun cukup yakin saat gue memutuskan berteduh di tempat ini, tak ada siapa pun di sekitar gue.

Namun nyatanya, Daksa berdiri di sana, sekitar satu meter di dekat gue, berdiri dengan sikap anggunnya yang tampak tak terganggu sama sekali oleh derasnya hujan yang sedikit-sedikit memercik ke arah kami. Kulit terangnya selalu tampak glowing, seperti perawatan di salon mahal atau semacamnya. Rambut panjangnya tak basah, bahkan seperti waterproof.

“Lo siapa sih sebenarnya?” tanya gue pada Daksa.

“Daksa…,” sahutnya pendek.

“Iya, gue tahu nama lo Daksa. Maksud gue, lo itu siapa? Kenapa lo bisa ada di mana-mana? Apa yang lo mau sama gue?”

“Mencegah,”

Daksa menjawab pendek tanpa menoleh, kemudian berbicara lagi.

“Saya harus mencegah sesuatu.”

“Mencegah apa?”

Daksa terdiam. Tak menjawab. Namun entah kenapa gue bahkan tak berani untuk protes.

“Lo sejenis setan atau gimana sih? Gue heran sama orang-orang yang nggak liat lo. Lo manusia?”

Daksa tersenyum, masih tak menoleh sama sekali.

“Bukan.”

“Beneran setan?”

“Bukan.”

“Lalu?”

Kali ini dia menoleh dan menatap gue dengan sunglasses-nya. Dia melepas sunglasses itu. Matanya berwarna antara biru atau abu-abu bening yang indah. Mata terindah yang pernah gue lihat. Bukan seperti mata bule pada umumnya, namun entahlah, ada banyak hal di matanya yang semakin memperjelas ke gue bahwa dia bukan manusia biasa. Bukan pula setan, seperti yang gue kira secara asal-asalan. Gue akhirnya memahami kenapa dia tetap memakai kacamata ke mana-mana. Dalam bentuk wajah utuh tanpa kacamata, lo akan tahu bahwa dia bukan seorang manusia. Potongan wajahnya begitu sempurna seperti pahatan yang dicetak tanpa cela.

“Ya, kamu boleh anggap saya setan. Tapi saya bukan mereka.”

Gue merapatkan cardigan yang dipakaikan Daksa pada gue. Cardigan itu begitu tebal dan lembut, menghangatkan gue dengan cuaca seperti ini.

Lihat selengkapnya