Saskia mengirimkan gue email di siang hari setelah gue baru saja sampai dari menjemput Nadia di sekolah. Sienna sedang tidur siang dengan nyenyak di kamar gue saat itu. Nadia sedang makan siang bersama Mba Sus sambil mengobrol ngalur-ngidul tentang sekolahnya. Mba Sus cukup antusias menanggapi cerita-cerita Nadia. Entah terlihat tulus atau tidak, tapi Mba Sus udah gue anggap satu-satunya penyelamat gue saat ini. Pengganti gue menemani anak-anak ketika gue harus berhadapan dengan monster diri gue sendiri.
Email dengan attachment berformat pdf itu, berlembar-lembar. Berisi banyak sekali obrolan percakapan whatsapp antara Tama dan Pita, foto-foto jarak jauh yang diambil team-nya Saskia yang ternyata secara diam-diam, Tama masih menemui Pita sampai sekarang, meskipun gue sudah mencoba memutus pertemuan pagi mereka di sekolah. Nyatanya, Tama masih sering pergi bersama Pita secara diam-diam saat lunch break di kantornya atau saat pulang kerja.
Menurut Saskia, Tama banyak meluangkan waktu dengan Pita, lebih banyak di siang hari. Foto-foto itu telah memiliki deskripsi waktu, tanggal dan juga lamanya pertemuan mereka. Jujur, meskipun gue sedih melihat itu semua, gue bener-bener salut dengan cara kerja Saskia yang sangat hati-hati. Gue sadar gue nggak salah pilih orang untuk mengurus ini semua. Secara emosional, gue melihat matahari aja malas, jika tidak untuk mengatarkan anak-anak ke sekolah. Mall, diskonan barang-barang branded, launching kosmetik terbaru, sudah tidak menarik buat gue sama sekali. Pantas saja banyak klien-klien kelas atas yang memakai jasanya. Bergerak secara independent dengan klien yang kebanyakan perempuan, membuat gue cukup benar-benar merasa respek pada dirinya.
Kebanyakan perselingkuhan di mana laki-laki yang berselingkuh dalam kehidupan rumah tangga, selalu perempuan yang disalahkan. Dulu, sebelum kejadian sama gue, gue pernah berpikir seperti itu. Tapi sejak itu melanda kehidupan gue yang menurut gue sudah baik, seperti misalnya, gue berpenghasilan, 80 % gue bekerja dari rumah, gue mengurus anak-anak, kehidupan seks? Jangan ditanya. Gue selalu memberikan pelayanan yang baik. Selain itu? Gue cukup mandiri, jarang banget gue minta-minta suami gue untuk barang-barang pricey. Meskipun tanpa gue minta, dia memberikan kepada gue barang-barang tersebut.
Makanan? Lo bisa sebut, gue dan Mba Sus selalu mempersiapkannya secara matang-matang bahkan kami buat jurnalnya. Sarapan, siang hari bahkan malam hari pun, selalu gue sediakan. Bukan yang bergizi 4 sehat 5 sempurna, tapi semuanya enak dan mengenyangkan. Rumah selalu bersih, meskipun itu sebagian besar adalah andil dari Mba Sus. Tapi, rumah tangga gue adalah rumah tangga yang selalu gue idam-idamkan dari dulu. Dan ketika badai itu datang, gue berkali-kali bertanya kenapa? Apa yang salah dalam diri gue?
Saskia tidak pernah sedikitpun menge-judge gue kurang baik sebagai seorang istri. Dia selalu bilang bahwa, semua manusia, akan punya sisi hitam, sisi kelam dan sisi jahat dalam hidupnya. Saat ini, entah apa yang memicu Tama hingga sisi itu muncul dari dalam dirinya. Bukan salah gue, tapi tentu salah Tama karena membiarkan sisi hitam itu muncul dan menguasai dirinya. Mengalahkan sisi baiknya selama ini.
Setelah bukti-bukti kuat itu datang, tugas Saskia pada gue adalah mempersiapkan surat-surat yang berhubungan dengan aset kepemilikan yang masih atas nama Tama selama ini.
Surat-surat itu harus berganti kepemilikan. Jangan pernah atas nama suami gue lagi. Jangan pula pakai nama gue, karena itu akan memberatkan gue dalam hal pajak, di mana pekerjaan gue, meskipun mendapatkan angka yang lumayan, adalah berkategori freelance.
Saskia menyuruh gue, pertama-tama, gue harus merinci apa saja aset yang selama ini gue dan Tama punya selama pernikahan. Gue harus list, termasuk rumah, emas, kendaraan seperti mobil, tanah, atau apapun yang telah kami beli selama ini. Gue harus bisa membatasi ruang gerak Tama dengan aset-aset tersebut yang berpindah kepemilikan ke tangan gue, walaupun tidak secara harafiah atas nama gue. Saskia memberi saran agar gue memakai nama Ibu atau Ayah gue. Namun, tentu saja hanya Ibu yang terlintas dalam pikiran gue, karena Ayah gue sudah tiada bertahun-tahun yang lalu.
Selain semua hal itu, Saskia menyuruh gue untuk berkomitmen, meski bukti-bukti sudah ada dalam tangan gue, dan akan terus bertambah tanpa gue minta, karena Saskia akan selalu update soal bukti jika ada, gue harus bisa menahan diri untuk nggak membocorkannya sama siapapun. Termasuk sahabat-sahabat gue. Siapapun pokoknya. Bahkan Ibu gue yang nantinya akan namanya akan gue pinjam di surat kepemilikan aset.
Gue harus menahan emosi meskipun Tama makin menjadi-jadi. Hal yang luar biasa sulit sebenarnya. Tapi, Saskia terus menguatkan gue bahwa, emosi nggak akan menyelesaikan masalah. Gue harus emosi di saat yang tepat. Saat, surat-surat pengalihan kepemilikan aset sudah selesai gue buat. Jadi, bukti-bukti itu akan menjadi salah satu dokumen lain yang akan gue tunjukkan pada Tama untuk meminta tanda-tangan persetujuannya.
Setelah semua beres, aset beralih ke tangan gue, gue akan membicarakan semua hal pada Tama, dan bersiap-siap akan menempuh jalur perceraian.
Untuk hal satu ini, saat gue membaca kata perceraian, sungguh rasanya gue ingin terjun dari lantai 30 di gedung manapun yang bisa gue datangi sekarang. Namun, bayangan Nadia dan Sienna yang akan diasuh oleh orang seperti Tama, menahan keinginan gue bertubi-tubi.
***
“Assalamualaikum, Bu? Sehat?” tanya gue langsung saat menelepon Ibu gue yang tinggal di Yogyakarta, tanpa sedikitpun basa-basi.