+62 8XXXXXXXXXX
Nomor itu muncul di layar ponselku pukul 03:17 dini hari. Bukan nama. Bukan pula kontak yang tersimpan. Hanya deretan angka yang terasa dingin dan asing seperti keramik di kamar mayat. Aku tahu—entah bagaimana, di sumsum tulangku—bahwa hidupku, yang hingga detik itu terasa seperti jalur kereta yang lurus dan dapat diprediksi, baru saja berbelok tajam menuju kegelapan yang belum pernah kubayangkan.
Aku sedang duduk di balkon apartemenku, menghadap lampu-lampu Kota Tangerang yang berkelap-kelip di bawah sana seperti bintang-bintang yang jatuh. Udara malam lembap dan membawa bau aspal basah setelah gerimis beberapa jam sebelumnya. Meja kecil di depanku, di atasnya berdiri cangkir kopi yang sudah dingin mengepulkan sisa-sisa aromanya yang pahit. Aku tidak bisa tidur. Tak ada alasan yang jelas, hanya gelisah yang samar, perasaanku yang seperti ini selalu menyiratkan ada sesuatu yang tidak pada tempatnya di dunia, meskipun semua tampak normal dan baik-baik saja.
Ponsel bergetar lagi. Panggilan kedua dari nomor yang sama. Aku menghela napas. Biasanya aku tidak akan menjawab panggilan dari nomor tak dikenal di jam seperti ini. Itu pasti misdial, atau penawaran kartu kredit yang agresif, atau—kemungkinan terburuk—mantan pacar yang sedang mabuk dan menyesal. Tapi ada sesuatu dalam kegigihan panggilan ini, dalam waktu yang aneh, yang membuat jari-jariku bergerak sendiri untuk menggeser ikon hijau.
"Halo?" suaraku serak.
Hening. Hanya desis statis yang samar di ujung sana, seperti napas mekanik yang jauh.
"Halo? Siapa ini?" Aku bertanya lagi, sedikit lebih keras, rasa tidak nyaman mulai merayapi tulang belakangku.
Masih hening. Kemudian, sebuah suara. Pelan, hampir menyerupai bisikan, tetapi jelas terdengar. Suara seorang pria, tidak kukenal, dengan intonasi datar yang membuatku merinding.
"Aset itu...beracun."
Klik. Panggilan terputus.
Aku menatap layar ponsel yang kembali gelap, jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Aset itu beracun? Apa maksudnya? Apakah ini lelucon? Panggilan iseng? Tapi ada sesuatu dalam suara itu, dalam kesederhanaan pesannya, yang terasa sangat nyata, sangat mengancam.
Aku mencoba menghubungi balik nomor itu. Nada sambung sibuk. Aku mencoba lagi. Tetap sibuk. Seolah nomor itu sudah tidak ada lagi, terputus dari jaring komunikasi seperti mimpi buruk yang tiba-tiba menghilang saat kau terbangun.
Aku berdiri, berjalan ke tepi balkon, dan menatap ke bawah. Lampu-lampu kota tampak sama seperti sebelumnya, tidak ada yang berubah di dunia luar. Tapi di dalam diriku, sesuatu telah bergeser. Sebuah benih ketidakpercayaan telah ditanam, keraguan yang dingin tentang realitas yang kurasakan.