Senyum di lobi perusahaanku sudah lama menjadi komoditas, ditransaksikan setiap pagi dengan imbalan ilusi keamanan kerja. Aku bisa membaca nilainya seperti aku membaca indeks saham. Ada senyum "Selamat Pagi, Bu Aletta" yang tulus dari para resepsionis junior—aset dengan volatilitas rendah, bisa diandalkan. Lalu ada senyum tegang dari manajer level menengah yang takut laporan mereka akan kubantai—obligasi korporat dengan risiko gagal bayar yang tinggi. Dan yang paling kubenci, senyum licin dari sesama anggota dewan seperti Bramanta, yang lebih mirip pergerakan bibir reptil di atas mangsanya yang lengah. Pagi ini, semua senyum itu terasa sama bagiku: hanya wujud fasad, topeng tipis yang menyembunyikan sesuatu yang membusuk di baliknya.
Tentu saja, ini mungkin hanya karena aku kurang tidur. Tiga jam, mungkin. Sejak panggilan telepon pukul 03:17 dini hari itu, pikiranku terasa seperti sirkuit yang mengalami korsleting. Kata-kata itu terus berputar, menjadi gema digital yang menolak untuk hilang: Aset itu...beracun.
Seperti lelucon. Pasti begitu. Salah sambung dari seseorang yang sedang mabuk dan mencoba terdengar dalam dan misterius. Tetapi suara itu—datar, tanpa emosi, seperti suara mesin yang membacakan ketetapan—terlalu jernih untuk menjadi kesalahan. Jika itu benar-benar pesan yang disengaja. Pesan itu telah berhasil meracuni sistemku.
"Pagi, Bu Aletta," suara Citra, asisten pribadiku, menarikku dari lamunan. "Kopi Anda sudah siap. Jadwal untuk rapat strategi kampanye Sentosa pukul sepuluh."
"Terima kasih, Citra," jawabku, mengambil cangkir porselen yang hangat. Citra adalah satu-satunya orang di gedung ini yang senyumnya tidak kuanalisis. Dia adalah konstanta, efisien seperti program komputer dan setia seperti anjing penjaga. Dia telah bersamaku selama tujuh tahun, sejak aku merebut posisi CEO ini dari tangan-tangan pria tua yang menganggapku hanya sebagai dekorasi yang terlalu ambisius. Citra tahu di mana semua mayat dikubur, dan dia cukup pintar untuk tidak pernah bertanya tentang sekopnya.
Aku duduk di kursi kulitku, di balik meja mahoni raksasa yang terasa seperti perisai. Dari lantai tiga puluh delapan, Jakarta terbentang di bawahku bagaikan maket yang rumit, lalu lintas yang macet menjadi pembuluh darah yang tersumbat. Di sini, di dalam kantor sudut berdinding kaca ini, akulah arsiteknya. Setiap keputusan, setiap akuisisi, setiap pemecatan, menjadi batu bata yang kuletakkan untuk membangun kerajaan ini. Kerajaan yang kubangun di atas reruntuhan kehidupanku sebelumnya, kehidupan di mana aku adalah sebuah pajangan di museum orang lain.
Panggilan itu mengancam untuk meretakkan fondasinya.
Aset. Kata yang dingin dan klinis. Dalam duniaku, segalanya adalah aset. Gedung ini, para karyawan, bahkan reputasiku sendiri. Mana di antara mereka yang beracun? Pertanyaan itu seperti virus yang menginfeksi setiap pikiranku. Saat aku meninjau laporan keuangan, aku melihat angka-angka bukan lagi sebagai data, tapi sebagai potensi racun. Saat kusetujui anggaran, aku bertanya-tanya apakah aku baru saja menandatangani surat kematianku sendiri.
Pukul sepuluh tepat, aku memasuki ruang rapat utama. Udara di dalamnya sudah terasa pengap oleh bau parfum mahal dan ambisi yang tertahan. Bramanta sudah di sana, duduk dengan angkuh, senyum reptilnya terpampang. Daniel Choi, satu-satunya sahabat sejati yang kumiliki di dewan ini, memberiku anggukan kecil yang menenangkan. Dia pria yang baik, stabil, dan logis—segalanya yang tidak dimiliki Adrian. Daniel adalah suara nalar dalam hidupku, meskipun terkadang aku merasa suaranya terlalu aman, hingga sangat mudah ditebak.
"Selamat pagi," sapaku, suaraku lebih mantap dari yang kurasakan. "Kita mulai."
Agenda hari ini adalah meluncurkan kampanye untuk klien properti terbesar kami, The Sentosa Group, yang sedang membangun resor mewah di Bali. Ini bagian dari proyek mahkota, kesepakatan yang kumenangkan secara pribadi. Konsep kampanye yang timku siapkan sudah matang: aman, elegan, menargetkan pasar kelas atas yang sudah ada.
Video yang menampilkan pasangan Kaukasia tertawa dalam gerakan lambat di tepi kolam renang tanpa batas. Slogan-slogan seperti "Temukan Surga Anda Kembali". Itu membosankan, tapi akan berhasil. Pasar menyukai kebosanan yang lazim.
Saat presentasi timku berakhir, aku membuka forum. "Ada masukan?"
Hening. Seperti biasa. Tidak ada yang berani menjadi orang pertama yang mengkritik proyek kesayanganku sebagai CEO.
Kecuali, ternyata, hari ini berbeda.