THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #3

BAB 02

Kertas itu terasa tipis dan berbahaya di dalam saku blazerku, sepotong kecil bukti bahwa kewarasanku mungkin sedang berlibur tanpa pamit. Sepanjang sisa hari itu, aku menjalani rutinitasku dengan efisiensi robotik. Aku memimpin tiga rapat lagi, menandatangani selusin dokumen, dan menolak sebuah proposal akuisisi dengan senyum dingin yang sudah menjadi merek dagangku. Aku adalah Aletta Virmana, CEO. Aku adalah mesin yang terawat baik. Tapi di dalam mesin itu, sebuah sekrup kecil telah longgar, dan getarannya mulai merambat ke seluruh sistem.

Sketsa kunci itu.

Setiap kali ada celah dalam kegiatanku, pikiranku kembali ke sana. Ke detailnya yang rumit, ke bentuknya yang kuno. Itu bukan gambar iseng. Iseng itu acak. Ini... ini terasa disengaja. Simbol yang diletakkan di jalanku untuk ditemukan. Tapi apa artinya? Apakah itu ancaman? Undangan? Atau, yang lebih buruk, pernyataan bahwa dia sudah tahu rahasiaku? Bahwa dia tahu aku memiliki banyak sekali pintu yang terkunci rapat di dalam diriku, ruangan-ruangan gelap yang tidak pernah kukunjungi kembali.

Saat jam kantor berakhir dan gedung mulai kosong, yang hanya menyisakan para petugas kebersihan dan beberapa pecandu kerja sepertiku, aku memanggil Citra.

"Citra, tolong bawa kembali berkas lamaran semua anak magang angkatan ini. Terutama milik Reno Dirgantara," kataku melalui interkom.

"Sudah saya siapkan di atas meja Ibu sejak satu jam yang lalu," jawabnya. Tentu saja sudah. Citra tidak mengantisipasi kebutuhan, dia sudah memenuhinya bahkan sebelum aku menyadarinya. Terkadang aku berpikir dia bisa membaca pikiranku. Aku harap kali ini tidak.

Aku membuka map tebal itu di atas mejaku. Foto-foto wajah muda yang penuh harapan menatapku. Aku melewati mereka satu per satu hingga aku sampai pada fotonya. Reno Dirgantara. Dalam foto paspornya, dia tampak lebih muda, lebih polos. Tatapan matanya belum setajam yang kulihat di ruang rapat tadi. Di bawahnya, riwayat hidupnya tercetak rapi. Lulusan terbaik dari universitas ternama, peraih beasiswa, beberapa penghargaan desain tingkat nasional. Semuanya sempurna. Sangat sempurna.

Aku menyalakan komputerku, melakukan sesuatu yang biasanya tidak pernah kulakukan: menguntit seorang karyawan di media sosial. Aku mencari namanya di setiap platform. LinkedIn, Instagram, Facebook, Twitter. Hasilnya... aneh. Profil LinkedIn-nya ada, tapi tampak seperti baru dibuat tiga bulan lalu, hanya berisi data dari CV-nya. Akun Instagram-nya privat, dengan nol unggahan dan hanya segelintir pengikut. Facebook dan Twitter-nya sama sekali tidak ada.

Di zaman ini, seseorang yang tidak memiliki jejak digital yang signifikan sangatlah terasa ganjil. Apalagi untuk seorang mahasiswa desain komunikasi visual berusia dua puluh dua tahun. Mereka biasanya hidup dan bernapas dengan konten. Jejak digital Reno terasa seperti ruangan yang baru saja dibersihkan dari semua perabotannya, menyisakan hanya dinding-dinding kosong. Seolah-olah dia tidak ada sebelum setahun yang lalu. Atau seseorang telah dengan susah payah menghapus semua jejaknya.

Perasaan dingin di perutku semakin menjadi. Ini bukan lagi hanya firasat. Ini data.

Aku bersandar di kursiku, menatap lampu kota yang mulai menyala satu per satu, membentuk konstelasi buatan manusia. Aku butuh perspektif lain. Seseorang yang logis, yang tidak terinfeksi oleh paranoia yang mulai menggerogotiku. Aku menekan nomor Daniel di ponselku.

"Aletta? Tumben menelepon malam-malam," sapanya, suaranya terdengar hangat dan akrab.

"Aku butuh pendapatmu, Dan. Tentang rapat tadi," kataku, langsung ke intinya.

"Ah, si anak magang," Daniel tertawa kecil. "Aku tahu kau akan memikirkan itu. Anak itu punya nyali, kuakui."

"Bukan nyalinya. Proposalnya. Menurutmu bagaimana?"

Hening sejenak di seberang sana. Aku bisa membayangkan Daniel sedang melepas kacamatanya, memijat pangkal hidungnya—kebiasaannya saat sedang berpikir serius. "Secara obyektif? Brilian. Sangat berisiko, tapi brilian. Dia benar tentang pasar yang sudah jenuh. Idenya segar, otentik. Jika dieksekusi dengan benar, bisa menjadi studi kasus di Harvard."

"Tapi?" aku memancing.

Lihat selengkapnya