THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #4

BAB 03

Pintu itu tertutup dengan bunyi klik yang lembut, tetapi di dalam keheningan kantorku yang luas, suaranya terdengar seperti tembakan pistol yang memulai sebuah perlombaan. Aku tidak bergerak dari kursiku selama sepuluh menit penuh. Aku hanya menatap pintu kayu yang kokoh itu, membayangkan Reno di baliknya, berjalan menyusuri lorong dengan senyum tipisnya yang terkutuk dan sobekan kertas berisi gambar kunci di dalam sakunya.

Dia tidak menyangkal.

Dia tidak menjelaskan.

Dia mengaku.

Pengakuan itu lebih buruk daripada ancaman langsung. Ancaman bisa diperangi. Tapi pengakuan yang tenang dan puitis seperti itu? Itu adalah deklarasi perang psikologis. Dia tidak hanya memberitahuku bahwa dia berbahaya; dia memberitahuku bahwa dia tahu aku tahu dia berbahaya, dan dia tidak peduli. Dia menikmati permainannya. Dia menikmati ketakutanku.

Kemarahan yang dingin mulai menggantikan rasa syok yang melumpuhkan. Kemarahan yang sudah lama tidak kurasakan, kemarahan yang sama yang pernah memberiku kekuatan untuk meninggalkan Adrian dan membangun semua ini. Selama bertahun-tahun, aku telah membangun benteng yang tak tertembus di sekelilingku. Dindingnya berupa kesuksesan, paritnya adalah uang, dan penjaganya hanyalah reputasiku yang dingin dan tanpa ampun. Aku menciptakan satu ekosistem di mana tidak ada yang bisa menyentuhku. Dan sekarang, seorang anak berusia dua puluh dua tahun dengan kemeja yang tidak pas di badan telah berhasil menyelinap masuk, bukan dengan mendobrak gerbang, tapi dengan menemukan kunci rahasia yang bahkan aku sendiri lupa di mana menyimpannya.

Malam itu, tidur bukanlah pilihan. Aku pulang ke apartemenku di Tangerang, tempat yang biasanya menjadi kuil keheningan dan keteraturanku, tetapi malam ini terasa seperti sebuah jebakan kaca. Setiap sudut gelap tampak menyimpan bayangan. Setiap suara pendingin udara terdengar seperti napas orang lain. Aku memeriksa kunci pintu tiga kali. Aku bahkan mengaktifkan sistem alarm, sesuatu yang biasanya hanya kulakukan saat bepergian ke luar negeri.

Aku mencoba bekerja, membuka laptopku di meja makan marmer yang dingin, tetapi barisan angka di layar tampak kabur dan tidak berarti. Pikiranku terus berpacu, mencoba memecahkan teka-teki ini seperti aku memecahkan masalah bisnis.

Siapa dia? Apa motifnya?

Apakah ini pemerasan? Dia tidak meminta uang.

Apakah ini spionase industri? Bramanta pasti akan suka, tapi gaya Reno terlalu personal, terlalu psikologis untuk sekadar menjadi mata-mata korporat.

Atau... apakah ini sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu? Seseorang yang pernah kusakiti dalam perjalananku menuju puncak? Daftar itu, kuakui, cukup panjang. Aku tidak sampai di sini dengan menjadi orang baik. Aku sampai di sini dengan menjadi yang paling cerdas dan, jika perlu, yang paling kejam.

Lihat selengkapnya