Ada seratus jawaban yang bisa kuberikan pada Reno di ruang rapat itu. Seratus cara untuk menolak permintaannya yang kurang ajar tanpa terlihat lemah. Aku bisa berkata, "Informasi itu bersifat rahasia," dan berlindung di balik protokol perusahaan. Aku bisa berkata, "Fokus pada masa depan, bukan masa lalu," dan membungkus penolakanku dengan selubung kebijaksanaan korporat. Aku bahkan bisa tersenyum dan berkata, "Kepercayaan itu harus didapatkan, bukan diminta, Nak," sebuah tamparan verbal yang merendahkan dan efektif.
Aku tidak melakukan satu pun dari itu.
Karena aku melihat tatapan mata para anggota timku yang lain. Mereka menatapku, lalu menatap Reno, lalu kembali padaku. Di mata mereka, aku melihat keraguan yang sama yang Reno tanamkan kemarin. Mereka bertanya-tanya apakah aku, sang Ratu Besi, sebenarnya takut pada ide-ide baru. Mereka bertanya-tanya apakah aku takut pada anak ini. Dan dalam permainan kekuasaan, persepsi adalah segalanya. Menolak permintaan Reno sekarang sama saja dengan menyerahkan kemenangan psikologis kepadanya di depan para saksi.
Jadi, aku melakukan satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh seorang Ratu yang kerajaannya sedang diinvasi: aku mengundang sang jenderal musuh masuk ke dalam istana.
"Permintaan yang sangat logis," jawabku, suaraku tenang dan mematikan, memecah keheningan. Seluruh ketegangan di ruangan itu menguap seketika. "Kau tidak bisa membangun masa depan tanpa memahami fondasi masa lalu. Tentu saja. Kau akan mendapatkan akses yang kau butuhkan."
Aku melihat Bramanta menggelengkan kepalanya dengan samar, sebagai gestur putus asa. Daniel menatapku seolah aku baru saja menelan kunci brankas perusahaan. Tapi aku tidak peduli pada mereka. Aku hanya menatap Reno.
Aku menangkapnya. Sebuah kilatan emosi yang sangat singkat di matanya sebelum topengnya kembali terpasang. Itu bukan kemenangan. Itu... keterkejutan. Dia tidak menyangka aku akan setuju semudah ini. Aku telah melakukan langkah yang tidak ada dalam buku panduannya. Untuk sepersekian detik, akulah yang memegang kendali atas permainannya.
"Rapat selesai," kataku dengan tegas. "Reno, ikut aku ke ruanganku."
Perjalanan dari ruang rapat ke kantorku terasa seperti parade kemenangan yang paling hening di dunia. Aku berjalan di depan, Reno mengikuti beberapa langkah di belakang. Aku bisa merasakan kehadirannya, energi yang dingin dan penuh perhitungan, menjadi bayangan yang kini telah kuizinkan untuk menempel padaku.
Di dalam kantorku, aku tidak menyalakan lampu utama. Aku membiarkan cahaya sore yang keemasan dari jendela menjadi satu-satunya penerangan. Ini adalah panggungku, dan aku yang mengatur pencahayaannya.
"Duduk," kataku, lebih sebagai perintah daripada permintaan.
Aku berjalan ke lemari arsip pribadiku yang terkunci. Bukan lemari biasa. Ini adalah tempat aku menyimpan draf-draf negosiasi paling sensitif, dokumen-dokumen yang tidak pernah masuk ke server utama. Ini adalah otak keduaku, otakku yang paling paranoid.