THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #7

BAB 06

Kantorku, yang tadinya terasa seperti medan perang, kini telah berubah menjadi ruang otopsi. Di bawah cahaya lampu meja yang tajam, aku membentangkan mayat sebuah perusahaan bernama "Cipta Wisesa" di atas layar komputersku yang lebar. Binder hitam berisi catatanku—peta pikiranku—kini terasa seperti senjata pembunuhan yang kutinggalkan di tempat kejadian perkara. Aku telah memberinya akses ke sana. Kesalahan bodoh yang didorong oleh arogansi.

Tapi bara api di matanya saat aku menyebut kata "bangkrut"... itu bukan kesalahan. Itu adalah jejak kaki yang ia tinggalkan tanpa sengaja. Dan aku akan mengikuti jejak itu sampai ke ujung neraka jika perlu.

Pencarian pertamaku di Google menghasilkan informasi yang bisa ditebak: berita-berita bisnis usang dari setahun yang lalu yang mengumumkan kebangkrutan Cipta Wisesa. Artikel-artikel itu melukiskan gambaran yang sama seperti yang kuingat: butik desain yang inovatif, dipuji karena kreativitasnya, tetapi gagal karena manajemen yang buruk dan ketidakmampuan bersaing dalam tender besar. Cerita yang biasa terjadi. Darwinisme korporat. Yang kuat bertahan, yang lemah menjadi catatan kaki dalam laporan tahunan orang lain.

Aku tidak tertarik pada cerita publik. Aku butuh cerita di baliknya.

Aku beralih dari Google ke persenjataan yang lebih serius. Aku masuk ke basis data bisnis premium yang langganan tahunannya seharga sebuah mobil sedan. Di sini, aku bisa menarik laporan kredit, akta pendirian perusahaan, daftar pemegang saham—semua detail membosankan yang menjadi tulang punggung dari setiap drama bisnis.

Jari-jariku menari di atas keyboard dengan kecepatan yang dingin. Cipta Wisesa. Didirikan enam tahun lalu. Struktur kepemilikan: 95% dimiliki oleh satu orang. Aku mengklik namanya.

Dan di sana, di layar dalam huruf balok yang steril, nama itu muncul.

Wisnu Dirgantara. Pendiri & CEO.

Dirgantara.

Nama itu menggantung di udara kantorku yang sunyi, terasa berat dan penuh makna. Jantungku tidak berdebar kencang. Sebaliknya, ia melambat, menjadi dingin dan berat di dalam dadaku. Ini bukan lagi teori. Ini bukan lagi paranoia. Ini adalah koneksi. Garis lurus yang ditarik dari kehancuran sebuah perusahaan ke anak magang yang duduk di mejaku beberapa jam yang lalu.

Lihat selengkapnya