Malam itu, aku tidak tidur sama sekali. Tapi ini bukan jenis insomnia yang dipenuhi kegelisahan seperti malam-malam sebelumnya. Tidak ada lagi paranoia yang merayap, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan tanpa bentuk yang menghantui sudut-sudut gelap apartemenku. Semua itu telah menguap, digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih padat, lebih dingin, dan lebih jernih: kemarahan.
Kemarahan yang murni dan absolut.
Aku duduk di balkonku hingga fajar, bukan sebagai korban yang ketakutan, tetapi sebagai seorang jenderal yang memetakan medan perang di dalam kepalanya. Setiap interaksi yang pernah kulakukan dengan Reno Dirgantara kuputar ulang, bukan lagi sebagai rangkaian kejadian yang membingungkan, tetapi sebagai serangkaian manuver strategis yang kini dapat kulihat dengan sangat jelas.
Kritiknya yang "jujur" di ruang rapat? Itu bukan keberanian, itu adalah pembukaan catur, sebuah gambit untuk mengukur reaksiku. Pertanyaan-pertanyaannya yang "cerdas" selama sesi larut malam? Itu bukan rasa ingin tahu, itu adalah interogasi. Senyumnya yang "memikat"? Itu bukan karisma, itu adalah kamuflase.
Dia telah mempelajariku. Dia tahu tombol mana yang harus ditekan, tahu persis bahwa seorang wanita seperti aku, yang dikelilingi oleh para penjilat dan pengecut, akan merespons pada tantangan intelektual. Dia tahu aku akan menganggap arogansinya sebagai tanda kecerdasan. Dia telah menggunakan psikologiku sendiri untuk melawanku. Dan kunci itu... sketsa sialan itu. Itu bukan sekadar pesan. Itu adalah ejekan. Sebuah trofi yang ia pamerkan sebelum ia memenangkan perangnya.
Kebencian di matanya yang kulihat kemarin—bara api yang menyala saat aku menyebut nama Cipta Wisesa—kini menjadi satu-satunya titik terang di dalam kegelapan ini. Itu adalah satu-satunya hal yang nyata dari dirinya. Itu adalah sauhku. Itu memberitahuku bahwa di balik semua lapisan manipulasinya, ada sebuah luka. Dan apa pun yang memiliki luka, bisa dibuat berdarah.
Pagi itu, saat aku bersiap-siap untuk ke kantor, aku memilih pakaianku dengan niat yang berbeda. Bukan lagi baju zirah untuk bertahan, tapi seragam untuk berperang. Sehelai gaun selutut berwarna merah darah yang tajam, dipadukan dengan blazer hitam yang terstruktur. Aku ingin terlihat seperti bahaya. Aku ingin dia tahu, tanpa sepatah kata pun, bahwa aku tahu.
Saat aku tiba di kantor, suasana "Tiger Team" sudah terbentuk di salah satu sudut ruangan berkonsep terbuka. Tim kecilku tampak bersemangat, papan tulis mereka sudah penuh dengan ide-ide dan sketsa. Dan di tengah-tengah mereka, berdiri Reno, memimpin diskusi dengan otoritas seorang direktur kreatif pemenang penghargaan. Dia tampak santai, bersemangat, dan sepenuhnya memegang kendali. Siapa pun yang melihatnya hanya akan melihat seorang bintang muda yang sedang naik daun. Aku melihat seorang pembunuh yang sedang mengasah pisaunya.
Aku berjalan melewati mereka tanpa berkata apa-apa, hanya memberikan anggukan singkat, dan masuk ke dalam kantor kacaku. Dari sana, aku bisa mengamati mereka. Aku adalah seorang ahli zoologi yang sedang mempelajari seekor ular berbisa di dalam terarium barunya.
Pertemuan resmi pertama tim itu dijadwalkan pukul sepuluh. Aku membiarkan mereka menunggu selama lima menit sebelum aku keluar dari kantorku dan bergabung dengan mereka di meja bundar. Aku ingin mereka tahu siapa yang masih memegang kendali waktu.