THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #9

BAB 08

Kemenangan terasa seperti abu di mulutku. Aku telah mendaratkan pukulan terbaikku pada Reno di depan umum, salah satu serangan terukur yang dirancang untuk memancing reaksi, untuk membuktikan teoriku. Dan aku berhasil. Aku membuktikan bahwa dia memiliki luka. Tapi dalam prosesnya, aku juga menunjukkan kepadanya semua kartuku. Aku memberitahunya bahwa aku tahu. Dan reaksinya—ketenangannya yang seperti baja, kemampuannya untuk menyerap racun dan tersenyum—mengajariku pelajaran yang jauh lebih penting: aku tidak sedang melawan seorang pemuda yang dikuasai amarah. Aku sedang melawan seorang prajurit yang sangat disiplin.

Serangan langsung tidak akan berhasil lagi. Dia akan mengantisipasinya. Dia akan siap. Aku tidak bisa mengalahkannya dengan membuatnya marah. Kemarahannya adalah bentengnya, bukan kelemahannya.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam seminggu, aku tidur. Bukan tidur yang nyenyak, tapi tidur yang dalam dan tanpa mimpi. Seolah-olah otakku, setelah mengkonfirmasi adanya ancaman nyata, akhirnya mematikan sistem alarmnya yang panik dan beralih ke mode tempur yang dingin dan terfokus. Aku bangun dengan kejelasan baru. Jika aku tidak bisa meruntuhkan bentengnya dari luar, maka aku harus diundang masuk ke dalamnya.

Aku harus mengubah medan perang.

Strategi baruku lahir dari prinsip dasar bisnis yang telah membuatku sukses: jika kau ingin mengendalikan aset, kau harus memahami setiap detail cara kerjanya. Kau harus menjadi ahli dalam bidang itu. Mulai hari ini, aku akan menjadi ahli dalam bidang Reno Dirgantara. Aku akan berhenti menjadi lawannya. Aku akan menjadi mentornya yang paling suportif, paling menuntut, dan paling terlibat. Aku akan menjadi bayangannya.

Perubahan itu kusadari langsung membuat seluruh kantor bingung. Di rapat "Tiger Team" keesokan harinya, aku tidak lagi duduk diam mengamati seperti seorang hakim. Aku ikut serta. Aku duduk di antara mereka. Saat timku menyajikan sebuah ide, aku tidak hanya mengkritik; aku memberikan saran, membangun di atas ide mereka. Dan saat Reno berbicara, aku mendengarkan dengan perhatian penuh, mengangguk, bahkan memujinya di depan yang lain.

"Itu poin yang brilian, Reno," kataku setelah dia menjelaskan konsep visual yang rumit. "Caramu menghubungkan citra dengan emosi sangat tajam. Kembangkan itu."

Aku bisa merasakan perubahan energi di ruangan. Ketegangan mencair, digantikan oleh kreativitas yang bersemangat. Timku, yang tadinya takut padaku, kini mulai rileks dan berani berpendapat. Dan Reno... aku memperhatikannya dengan saksama. Dia tampak menerima peranku yang baru ini dengan baik. Tapi aku tahu, di balik topengnya, dia pasti sama bingungnya denganku. Dia pasti bertanya-tanya apa permainanku sekarang. Biarkan saja. Kebingungan adalah senjata yang bagus.

Bagian terpenting dari strategi baruku adalah sesi "satu lawan satu" yang kuwajibkan setiap hari pukul lima sore. "Hanya untuk memastikan kita selalu sinkron," begitu alasanku pada tim. Kenyataannya, itu adalah ruang interogasiku.

Pertemuan pertama kami dengan format baru ini terasa seperti pertandingan catur yang dimainkan dalam keheningan total. Aku tidak lagi menyerangnya secara pribadi. Aku menyerangnya dengan profesionalisme yang berlebihan.

"Aku sudah meninjau proyeksi anggaran untuk idemu ini, Reno," kataku, sambil menunjuk sketsa di atas meja. "Idenya kuat, tapi eksekusinya akan sangat mahal. Bagaimana kau membenarkan pengeluaran sebesar ini kepada dewan direksi?"

Lihat selengkapnya