Konspirasi.
Kata itu terasa berat dan dingin di lidahku, bahkan saat aku hanya memikirkannya. Kata itu mengubah segalanya. Selama ini, aku telah membingkai narasi ini sebagai tragedi pribadi: seorang putra yang membalaskan dendam ayahnya. Itu adalah cerita yang bisa kupahami, motivasi yang, meskipun berkelok, memiliki logika emosionalnya sendiri. Aku melawan satu orang.
Tetapi pengetahuan Reno tentang finansial korporat—pengetahuannya yang spesifik dan canggih—menghancurkan narasi itu. Itu adalah anomali yang tidak sesuai dengan cerita "putra desainer yang berduka". Itu adalah jejak dari tangan lain, pikiran lain. Seseorang telah melatihnya. Seseorang telah memberinya senjata yang jauh lebih mematikan daripada sekadar kebencian.
Malam itu, aku tidak bisa fokus pada pekerjaanku. Setiap laporan, setiap email, terasa tidak berkaitan. Pikiranku terus berputar, mencoba menyusun potongan-potongan puzzle yang baru. Siapa? Siapa yang memiliki motif, pengetahuan, dan kebencian yang cukup untuk mendalangi operasi secerdas ini?
Pikiranku langsung tertuju pada Bramanta. Dia punya motif: dia menginginkan posisiku. Dia punya kebencian: dia tidak pernah menyembunyikan rasa jijiknya padaku. Tapi apakah dia punya kecerdasan untuk ini? Bramanta adalah seekor buaya, bukan ular. Dia menyerang secara langsung, dengan kekuatan kasar di ruang rapat. Dia tidak punya kesabaran atau kehalusan untuk mendalangi sebuah vendetta psikologis yang rumit selama berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun. Menggunakan Reno sebagai pionnya terasa terlalu... elegan untuk seorang Bramanta.
Lalu ada Adrian. Mantan suamiku. Dia jelas memiliki kecerdasan dan kebencian. Dia tidak pernah memaafkanku karena telah meninggalkannya, karena telah merusak "koleksi"-nya. Tapi Adrian adalah seorang narsisis. Permainannya selalu tentang dirinya sendiri. Jika dia ingin menghancurkanku, dia akan melakukannya dengan cara yang memastikan semua orang tahu bahwa dialah dalangnya. Dia tidak akan bersembunyi di balik seorang anak magang. Dia akan membeli gedung di seberang kantorku dan memasang spanduk raksasa dengan wajahku yang dicoret.
Tidak. Ini terasa berbeda. Ini terasa lebih tersembunyi, lebih sabar.
Pencarianku di internet malam itu tidak membuahkan hasil. Tidak ada koneksi yang jelas antara Reno dan dunia finansial tingkat tinggi. Jejak digitalnya masih bersih seperti tulang yang diputihkan di padang pasir. Siapa pun mentornya, dia sangat berhati-hati.
Keesokan harinya, aku datang ke kantor dengan rencana baru. Jika aku tidak bisa menemukan dalangnya dari luar, aku akan memancingnya keluar dari dalam. Aku akan menggunakan Reno sebagai umpanku.
Dalam sesi satu lawan satu kami sore itu, aku mengubah taktik. Aku tidak lagi menginterogasinya. Aku mulai "membuka diri".
"Kau tahu, Reno," aku memulai, sambil menatap draf kampanye yang ia buat. "Idemu tentang 'misteri' dan 'cerita yang belum ditulis' ini... itu menyentuh sesuatu yang personal."
Aku berhenti, seolah sedang ragu-ragu untuk melanjutkan. Dia menatapku, matanya waspada, menunggu.
"Sebelum aku membangun semua ini," aku membuat gerakan samar ke sekeliling kantorku, "aku pernah berada dalam sebuah hubungan di mana aku merasa seperti objek. Pajangan yang indah dalam sebuah galeri. Setiap gerak-gerikku diatur, setiap kata-kataku dikurasi. Tidak ada misteri. Tidak ada cerita. Hanya fasad yang sempurna dan kosong."
Aku tidak menyebut nama Adrian. Aku tidak perlu. Aku menceritakan versi kebenaran yang telah disunting, sebuah kerentanan yang diperhitungkan. Aku ingin melihat bagaimana reaksinya terhadap pengakuan pribadiku. Apakah dia akan menunjukkan simpati? Apakah dia akan menggunakannya untuk melawanku?
Reno mendengarkan dengan saksama. Wajahnya tidak menunjukkan apa-apa selain perhatian yang profesional. Tapi aku adalah seorang ahli dalam membaca keheningan, dan keheningannya terasa berbeda. Ada sesuatu yang tertahan.
"Itu pasti sulit," akhirnya dia berkata, suaranya netral.