Ada saat-saat tertentu dalam hidup di mana waktu terasa melambat, memadat, dan setiap detiknya terasa setajam pecahan kaca. Saat mobilmu tergelincir di jalanan basah. Saat dokter memasuki ruangan dengan ekspresi wajah yang salah.
Dan saat kau melihat logo bank investasi mantan suamimu di map yang dipegang oleh seorang pria yang baru saja bertemu dengan anak magang yang dikirim untuk menghancurkanmu.
Aku menekan tombol jeda pada rekaman CCTV itu. Gambar di layarku pecah, berkualitas rendah, tetapi pesannya lebih jernih daripada kristal. Logo itu. Membentuk lingkaran emas dengan huruf 'A' yang angkuh di tengahnya. Adriantho & Co. Bank butik milik Adrian. Bank yang sama yang menangani aset-asetnya, yang menjadi penasihatnya dalam setiap akuisisi, dan yang menjadi anjing penjaganya selama proses perceraian kami yang brutal.
Udara di dalam paru-paruku terasa seperti tersedot keluar. Seluruh teori yang kubangun—tentang Bramanta, tentang konspirasi acak—hancur berkeping-keping. Ini bukan bisnis. Ini tidak pernah tentang bisnis.
Ini Adrian.
Selalu Adrian.
Aku bersandar di kursiku, seluruh kekuatan terasa terkuras dari tubuhku. Ruangan kantorku yang luas dan mewah tiba-tiba terasa seperti diorama, serupa panggung sandiwara yang dibangun olehnya untukku. Gema dari percakapan terakhir kami sebagai suami-istri tiba-tiba berdentum di telingaku, sejelas seolah dia sedang berdiri di belakangku sekarang.
"Kau boleh memiliki perusahaan itu, Aletta," katanya saat itu, suaranya tenang dan penuh dengan superioritas yang memuakkan, saat pengacara kami sedang sibuk membagi aset. "Kau boleh memiliki gedung ini, mobil-mobilmu, semua mainanmu. Tapi kau tidak akan pernah benar-benar bebas dariku."
Aku menganggapnya sebagai ancaman kosong dari seorang pria yang egonya terluka. Aku menertawakannya dalam hati. Aku pikir aku telah menang. Aku pikir aku telah melarikan diri dari museumnya, dari kuratornya. Betapa naifnya aku.
Dia tidak mengancam. Dia membuat janji.
Selama bertahun-tahun, aku telah membangun benteng ini, lapis demi lapis, dengan kerja keras, darah, dan kompromi moral. Aku pikir aku aman di puncaknya. Ternyata, dia hanya membiarkanku membangun penjaraku sendiri hingga cukup tinggi, sebelum mengirimkan seseorang untuk membakarnya hingga rata dengan tanah.
Dan senjatanya... senjatanya begitu sempurna, begitu kejam dalam kejeniusannya. Bukan seorang pembunuh bayaran. Bukan seorang mata-mata korporat. Tapi seorang pemuda yang terluka dengan alasan yang sah untuk membenciku. Dia tidak hanya menyewa seorang prajurit. Dia menciptakan seorang martir yang fanatik. Dia memberikan Reno sebuah tujuan, sebuah pembenaran, lalu mempersenjatainya dengan pengetahuan dan sumber daya untuk melaksanakan misinya.