Galeri seni di Kemang itu adalah pilihanku yang disengaja. Sebuah ruang putih yang luas dan hening, dengan lukisan-lukisan abstrak minimalis yang harganya lebih mahal dari gaji tahunan para eksekutifku. Tempat ini steril, intelektual, dan sedikit pretensius. Tempat ini adalah jenis tempat yang akan disukai Adrian. Aku memilih medan perang ini untuk mengingatkan diriku sendiri siapa musuh yang sebenarnya.
Aku tiba lima belas menit lebih awal, memberikan diriku waktu untuk meresapi atmosfer dan menenangkan detak jantungku yang berpacu lebih cepat dari biasanya. Ini bukan gugup karena takut. Ini adalah adrenalin seorang pemburu yang sedang memasang perangkap paling rumit dalam hidupnya. Rencanaku sederhana dalam teorinya, tetapi sangat sulit dalam eksekusinya: aku akan berhenti memperlakukan Reno sebagai ancaman. Aku akan mulai memperlakukannya sebagai proyek rekrutmen. Aku akan membangun jembatan kepercayaan palsu di antara kami, dan ketika dia sudah berada di tengah-tengah jembatan itu, aku akan membakarnya dari kedua sisi.
Dia datang tepat waktu. Aku melihatnya dari seberang ruangan saat dia masuk. Dia tidak mengenakan kemeja kantornya. Dia memakai kaus hitam polos dan celana jins gelap. Tanpa seragam korporatnya, dia tampak lebih muda, tetapi juga lebih... nyata. Lebih berbahaya. Dia berjalan melewatiku seolah tidak melihatku, lalu berhenti di depan kanvas raksasa yang didominasi oleh warna hitam dan goresan-goresan merah yang kasar seperti luka.
Aku berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. Selama satu menit penuh, kami tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap lukisan itu.
"Apa yang kau lihat?" akhirnya aku bertanya, suaraku pelan.
Dia tidak menoleh padaku. Matanya masih terpaku pada kanvas. "Aku melihat kemarahan yang terkendali," jawabnya. "Sesuatu yang brutal mencoba keluar, tapi sang pelukis hanya memberinya satu goresan untuk bernapas. Sisanya ditekan di bawah lapisan hitam yang tebal."
Jawabannya membuatku sedikit terkejut. Itu terlalu tajam, terlalu akurat dengan apa yang kurasakan. "Sebuah interpretasi yang menarik," kataku, menjaga suaraku tetap netral.
"Dan Anda, Bu Aletta? Apa yang Anda lihat?" Dia akhirnya menoleh padaku.
"Aku melihat investasi yang bagus," jawabku dingin. "Pelukis ini sedang naik daun. Dalam lima tahun, harga karyanya akan naik tiga kali lipat."
Dia tersenyum tipis. Senyum yang sudah kukenal dengan baik. "Tentu saja," katanya. "Itu yang akan Anda lihat."
Kami berjalan menyusuri galeri dalam keheningan yang berat. Ini bukan pertemuan bisnis. Ini adalah tarian dua predator yang saling mengukur kekuatan. Aku tidak membicarakan proyek Sentosa. Aku berbicara tentang seni, tentang ambisi, tentang pengorbanan. Aku berbicara dalam kode, melemparkan umpan-umpan kecil untuk melihat apakah dia akan mengambilnya.
"Seorang seniman harus rela mengorbankan segalanya demi karya mereka," kataku, berhenti di depan sebuah patung perunggu yang aneh. "Mereka harus bersedia menjadi egois, bahkan kejam."
"Mungkin mereka hanya percaya bahwa tujuan mereka lebih besar daripada perasaan orang lain," jawab Reno, lagi-lagi menandingi setiap langkahku.