THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #13

BAB 12

Perjalanan pulang dari Kemang ke Tangerang terasa seperti melintasi negara asing. Aku melewati jalanan yang sama, melihat gedung-gedung yang sama, tetapi semuanya terasa berbeda, seolah dilapisi oleh filter yang buram. Aku tidak lagi melihat kota. Aku melihat papan permainan yang rumit, dan aku baru saja menyadari bahwa aku mungkin telah salah membaca semua aturannya.

Pengakuan Reno di kafe itu—jika itu bisa disebut pengakuan—adalah manuver masterclass. Itu dirancang dengan presisi seorang ahli bedah saraf. Dia tidak menyangkal apa pun. Dia tidak membela diri. Dia hanya memberiku narasi alternatif. Sebuah narasi yang lebih kecil, lebih personal, lebih bisa dipercaya. Seorang putra yang berduka mencari jawaban jauh lebih mudah diterima oleh logika daripada konspirasi rumit yang melibatkan mantan suamiku yang penuh dendam.

Dan bagian terburuknya adalah, aku hampir mempercayainya.

Saat dia berbicara, dengan duka yang tampak tulus di matanya, aku merasakan pertahananku runtuh. Selama sepersekian detik, aku melihatnya bukan sebagai musuh, tetapi sebagai seorang pemuda yang terluka, sama sepertiku dulu. Dia telah menggunakan kebenarannya sendiri—atau versi dari kebenarannya—sebagai senjata, dan senjata itu tepat mengenai sasaran: keraguanku pada diriku sendiri.

Malam itu, apartemenku tidak lagi terasa seperti benteng yang diserang. Itu terasa seperti ruang gema, di mana dua versi kebenaran saling berteriak, dan aku berdiri di tengah-tengahnya, tidak tahu mana yang harus kupercaya.

Di satu sisi, ada bukti yang telah kukumpulkan. Logika. CCTV. Logo bank investasi Adrian. Garis lurus yang menghubungkan satu titik ke titik lainnya. Ini adalah duniaku, dunia fakta dan data.

Di sisi lain, ada penampilannya. Emosinya yang tampak mentah. Ceritanya yang menyentuh. Itu adalah dunia manusia, dunia perasaan dan duka yang rumit, dunia yang selalu kuanggap sebagai sebuah kelemahan.

Apakah aku yang paranoid? Pertanyaan itu mulai merayap masuk ke dalam pikiranku, dingin dan berbisa. Apakah aku begitu terobsesi dengan Adrian, begitu trauma dengan kontrolnya, sehingga aku melihat hantunya di setiap bayangan? Apakah aku telah memproyeksikan pertempuran lamaku ke atas seorang anak magang yang kebetulan sangat brilian dan bernasib sial?

Pikiran itu menakutkan, karena itu berarti musuh terbesarku bukanlah Reno atau Adrian. Musuh terbesarku adalah pikiranku sendiri.

Aku memaksa diriku untuk tenang. Aku berjalan ke mejaku dan menyalakan laptop. Aku membuka kembali file video dari lobi gedung di Kuningan. Aku menontonnya lagi. Dan lagi. Pria itu. Pria yang menepuk bahu Reno. Senyumnya yang penuh arti. Logo di mapnya. Itu bukan imajinasiku. Itu nyata.

Lalu apa? Mungkin pria itu adalah teman keluarga. Seorang bankir yang bersimpati pada nasib Wisnu Dirgantara dan setuju untuk menjadi mentor bagi putranya. Mungkin pertemuan mereka tidak ada hubungannya dengan Adrian sama sekali. Mungkin itu hanya kebetulan yang sangat, sangat buruk.

Lihat selengkapnya