Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di depan jendela itu. Waktu terasa kehilangan maknanya. Senja berubah menjadi malam, dan lampu-lampu kota yang tadinya tampak seperti mata-mata kini terlihat seperti kunang-kunang yang jauh dan acuh tak acuh. Mereka tidak peduli pada drama yang terjadi di lantai tiga puluh delapan gedung ini. Mereka akan tetap bersinar besok malam, tidak peduli apakah aku masih di sini untuk melihatnya atau tidak.
Pesan teks itu. Foto kunci itu. Kalimat itu. Ini baru kunci pembuka. Belum kunci utama.
Kalimat itu terus berputar di kepalaku, bukan lagi sebagai ancaman, tapi sebagai sebuah teka-teki. Apa yang lebih buruk dari ini? Apa yang lebih menghancurkan daripada membongkar traumaku yang paling dalam dan menyajikannya sebagai tontonan publik? Apa "kunci utama" yang mereka simpan?
Aku memaksa otakku untuk bekerja, untuk berpikir melewati kabut kemarahan dan ketakutan. Aku mencoba berpikir seperti Adrian. Apa yang paling ia inginkan? Bukan hanya melihatku menderita. Itu terlalu sederhana untuknya. Dia ingin melihatku hancur oleh tanganku sendiri. Dia ingin melihatku membuat kesalahan fatal di bawah tekanan.
Dan saat itulah aku mengerti.
Serangan ini, artikel ini, semua ini bukan tujuannya. Ini adalah alatnya. Ini adalah cara mereka untuk membuatku panik, untuk membuatku mengambil keputusan yang gegabah. Mereka ingin aku memecat Reno. Mereka ingin aku secara terbuka menuduh Adrian. Mereka ingin aku memulai perang yang berisik dan penuh emosi, di mana aku akan terlihat tidak stabil, paranoid, dan tidak layak memimpin. Mereka ingin aku mengkonfirmasi narasi yang telah mereka bangun tentangku: seorang wanita kejam yang tidak segan menghancurkan seorang "anak magang tak bersalah" untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Jika aku memecat Reno sekarang, dia akan menjadi martir. Adrian akan dengan senang hati membocorkan "bukti" bahwa aku telah menyingkirkan seorang talenta muda yang brilian karena dia "terlalu dekat dengan kebenaran". Dewan direksi, yang sudah panik karena skandal ini, akan memiliki alasan sempurna untuk menyingkirkanku.
Mereka tidak sedang mencoba meledakkan bomnya. Mereka sedang mencoba membuatku menekan tombol peledaknya sendiri.
Sebuah ketenangan yang aneh dan dingin menyelimutiku. Aku akhirnya melihat seluruh papan permainannya. Aku melihat perangkap yang telah mereka pasang dengan begitu cermat.
Dan aku memutuskan untuk tidak menginjaknya. Aku akan berjalan melewatinya seolah perangkap itu tidak ada.
Aku meraih ponsel kerjaku, membuka direktori kontak, dan menemukan nomor yang sudah beberapa hari ini ingin kuhubungi tapi kutahan. Daniel Choi. Aku menekan tombol panggil.
Dia menjawab pada dering pertama. "Aletta? Aku sudah mencoba menghubungimu seharian. Kau baik-baik saja? Aku membaca artikel itu. Itu... mengerikan."
"Aku baik-baik saja, Dan," jawabku, suaraku terdengar lebih kuat dari yang kurasakan. "Aku butuh bantuanmu."
"Apa saja. Katakan saja."
"Aku ingin kau mengatur pertemuan darurat dewan direksi besok pagi. Seluruh anggota. Tanpa kecuali."