THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #21

BAB 20

Keesokan paginya, udara di kantor terasa berbeda. Listrik statis yang kemarin memenuhi lorong-lorong telah digantikan oleh sebuah ketenangan yang dipaksakan, jenis keheningan yang kau temukan di sebuah ruangan setelah pertengkaran hebat. Semua orang kembali bekerja, mata mereka terpaku pada layar masing-masing, berusaha keras untuk terlihat normal. Tapi aku tahu, di balik setiap email yang diketik dan setiap panggilan telepon yang dijawab, gosip itu masih menyebar seperti api di lahan kering. Artikel itu. Promosi itu.

Aku mengamati semuanya dari balik takhta kaca-ku. Aku melihat Reno. Dia telah pindah dari sudut meja anak-anak magang yang ramai ke sebuah bilik yang lebih privat, sesuai dengan status barunya sebagai Manajer Proyek Junior. Dia tidak tampak canggung atau tidak pada tempatnya. Sebaliknya, dia tampak seolah-olah sudah duduk di sana selama bertahun-tahun. Dia memimpin rapat pagi timnya dengan efisiensi yang dingin. Dia memberikan arahan, mendelegasikan tugas, dan menjawab pertanyaan dengan presisi seorang veteran.

Dia tidak menatap ke arah kantorku. Dia sengaja mengabaikan keberadaanku. Ini adalah langkah pertamanya dalam perang dingin kami yang baru: dia akan melakukan persis seperti yang kuminta. Dia akan menjadi karyawan teladan. Dia akan menjadi aset yang produktif. Dan dalam prosesnya, dia akan membuat ancamanku untuk "memeras setiap tetes kejeniusannya" terlihat seperti sebuah kolaborasi yang harmonis. Dia menolak untuk memberiku drama. Dia menolak untuk memberiku reaksi. Itu adalah bentuk perlawanan yang paling membuat frustrasi.

Aku memutuskan untuk menguji pertahanannya. Aku sengaja menghadiri rapat timnya tanpa pemberitahuan. Aku berdiri di belakangnya saat dia sedang menjelaskan sebuah alur kerja di papan tulis. Aku menyela.

"Struktur ini tidak efisien," kataku, suaraku memecah konsentrasi mereka. "Kau menciptakan dua langkah yang tidak perlu. Gabungkan fase A dan C."

Itu adalah kritik kecil, yang nyaris tidak berarti. Sebuah power play yang terang-terangan untuk menunjukkan siapa yang masih memegang kendali. Timnya menatapku dengan tegang. Reno berhenti menulis. Dia menoleh padaku, ekspresinya benar-benar netral.

"Poin yang bagus, Bu," katanya, tanpa sedikit pun nada defensif. "Akan kami revisi."

Lalu dia kembali menghadap papan tulis seolah aku tidak ada di sana. Dia tidak memberiku apa-apa. Tidak ada kemarahan. Tidak ada frustrasi. Hanya kepatuhan yang dingin. Aku merasa seperti baru saja meninju sebuah dinding baja. Tanganku yang sakit, bukan dindingnya.

Saat aku kembali ke kantorku, Daniel menelepon. Suaranya terdengar panik.

"Aletta, ini lebih buruk dari yang kukira," katanya tanpa basa-basi. "Aku baru saja menerima telepon dari dua investor besar. Mereka 'khawatir' dengan 'ketidakstabilan' yang diberitakan media. Dan yang lebih parah, perwakilan dari Sentosa Group baru saja mengirim email, meminta 'klarifikasi resmi' mengenai stabilitas kepemimpinan di agensi kita."

Darahku terasa dingin. "Sentosa?"

Lihat selengkapnya