THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #22

BAB 21

Tawa kering dan pahit yang keluar dari tenggorokanku di kantorku yang sunyi adalah suara dari kewarasan yang mulai terkikis. Aku baru saja menyaksikan manuver paling gila yang pernah kulihat dalam lima belas tahun karierku. Reno Dirgantara, pion yang kukira telah kupojokkan, baru saja mengorbankan dirinya sendiri di papan catur hanya untuk membakar ratuku. Dia tidak hanya cerdas. Dia tidak hanya kejam. Dia adalah seorang nihilis.

Dan kini aku harus berurusan dengan dampaknya.

Ketenangan setelah badai tidak pernah datang. Yang datang justru badai yang lebih besar. Telepon dari Daniel yang memberitahuku tentang kekhawatiran Sentosa Group hanyalah gempa pembuka. Gempa utamanya datang satu jam kemudian dalam bentuk email yang dingin dari sekretaris dewan: Rapat Dewan Direksi Darurat. Pukul 15:00. Diharuskan hadir.

Aku tahu apa artinya ini. Kali ini, aku bukan yang memanggil rapat. Aku adalah yang dipanggil. Aku bukan lagi sang Ratu. Aku adalah terdakwa.

Aku berjalan memasuki ruang rapat tepat pukul tiga. Suasananya berbeda dari rapat terakhir. Tidak ada lagi kebingungan atau kekaguman yang enggan. Yang ada hanyalah keheningan yang dingin dan menghakimi. Bramanta duduk di seberangku, wajahnya adalah topeng keprihatinan palsu yang nyaris tidak bisa menyembunyikan senyum kemenangannya. Sekutu-sekutuku yang biasanya suportif kini menghindari tatapanku. Bahkan Daniel tampak muram, seolah sedang menghadiri pemakamanku.

Ketua Dewan, seorang pria tua bernama Tirtayasa yang biasanya lebih tertarik pada permainan golfnya daripada urusan perusahaan, berdeham.

"Aletta," mulainya, tanpa basa-basi. "Kita berada dalam situasi yang sangat genting. Artikel kedua itu... telah menyebabkan kerusakan yang signifikan."

Dia menjabarkan kerusakannya dengan presisi yang menyakitkan. Dua investor institusional telah secara resmi menyatakan "peninjauan ulang posisi" mereka di perusahaan kita. Sentosa Group telah secara formal menempatkan proyek mereka dalam status "ditunda" sampai ada "klarifikasi mengenai stabilitas dan etika kepemimpinan". Harga saham kita telah turun tujuh persen lagi sejak pagi ini.

"Pasar membenci ketidakpastian, Aletta," kata Tirtayasa. "Dan saat ini, kau adalah perwujudan dari ketidakpastian itu."

Bramanta menambahkan, suaranya licin seperti minyak. "Ini bukan lagi tentang rumor pribadi. Ini tentang tata kelola perusahaan. Keputusanmu untuk mempromosikan Tuan Dirgantara di tengah-tengah skandal, yang kini dibingkai sebagai tindakan kronisme... itu adalah kesalahan penilaian yang fatal. Itu membuat kita semua terlihat lemah dan korup."

Aku duduk diam, membiarkan mereka melemparkan batu-batu mereka. Aku tahu berdebat tidak ada gunanya. Mereka tidak mencari penjelasan. Mereka mencari solusi cepat. Mereka mencari korban.

"Dewan telah berdiskusi," lanjut Tirtayasa. "Dan kami telah sampai pada sebuah kesimpulan. Kami butuh tindakan yang tegas dan segera untuk memulihkan kepercayaan pasar."

Dia menatapku, matanya yang dingin tidak menunjukkan simpati. "Kami menuntut dua hal. Pertama, perusahaan akan merilis permintaan maaf resmi atas 'kurangnya pertimbangan etis' dalam keputusan promosi baru-baru ini. Kedua," dia berhenti sejenak, "kau harus segera menonaktifkan Reno Dirgantara dari posisinya, sambil menunggu hasil 'penyelidikan internal' terhadap proses promosinya."

Lihat selengkapnya