Ada keheningan yang aneh di kantor keesokan harinya. Keheningan yang sarat dengan kemenangan yang hampa dan kekalahan yang membara. Pernyataan maaf resmiku, yang ditulis dengan bahasa korporat yang paling netral dan tidak berarti, telah dirilis pagi itu. Pasar merespons dengan sedikit kenaikan, berbuah helaan napas lega yang dangkal. Dewan direksi merasa puas. Badai untuk sementara telah reda.
Aku telah menyelamatkan pekerjaanku. Aku telah menyelamatkan perusahaan. Tapi saat aku duduk di dalam kantorku, menatap bilik kosong yang kemarin masih ditempati oleh Reno Dirgantara, aku merasa seperti baru saja kalah dalam perang.
Kemenangan ini terasa seperti racun. Aku harus berdiri di depan dewanku dan secara implisit mengakui bahwa aku telah membuat kesalahan. Aku harus menonaktifkan satu-satunya orang yang menjadi kunci dari seluruh teka-teki ini. Aku telah kehilangan aksesku. Aku telah kehilangan mikroskopku. Aku sekarang buta.
Reno tidak datang ke kantor hari itu. Tentu saja tidak. Dia sedang menjalani "penonaktifan"-nya, mungkin di kosannya yang sempit, merayakan kemenangannya yang sunyi. Dia telah berhasil memanipulasiku untuk mempromosikannya, lalu memanipulasi dewan untuk memaksaku menyingkirkannya. Dia kini berada di luar jangkauanku, bebas untuk merencanakan langkah selanjutnya dalam kegelapan, sementara aku terikat di sini oleh peraturan perusahaan dan pengawasan dewan.
Daniel masuk sekitar jam makan siang, membawakanku salad yang sudah kutahu tidak akan kumakan.
"Kau melakukan hal yang benar, Al," katanya lembut, meletakkan kotak makanan itu di mejaku. "Kau menelan egomu demi kebaikan perusahaan. Itu tanda seorang pemimpin sejati."
Aku tertawa, sebuah suara yang terdengar asing bahkan di telingaku sendiri. "Benar? Aku baru saja membiarkan seekor serigala keluar dari kandangnya karena sekelompok domba ketakutan, Dan. Ini bukan kepemimpinan, ini adalah kekalahan yang ditunda."
"Anak itu hanya anak magang, Aletta. Sekarang dia sudah tidak aktif, pengaruhnya selesai."
"Kau tidak mengerti," desisku, menatapnya dengan intensitas yang membuatnya sedikit mundur. "Dia bukan sekadar anak magang. Dia tidak pernah menjadi anak magang. Dia adalah gejala dari penyakit yang jauh lebih besar, dan aku baru saja kehilangan kemampuanku untuk melacak infeksinya."
Aku melihat tatapan kasihan di matanya, dan aku membencinya. Dia pikir aku paranoid. Dia pikir skandal ini telah membuatku kehilangan perspektif. Mungkin aku memang sudah kehilangan itu. Tapi aku tahu apa yang kurasakan. Aku merasakan sensasi dingin yang sama seperti saat kau tahu ada seseorang di dalam rumahmu, tapi kau tidak tahu di ruangan mana.
Setelah Daniel pergi, aku menghabiskan sisa hari itu dalam keadaan mati rasa. Aku menjawab email. Aku menyetujui anggaran. Aku menjalankan kerajaanku. Tapi pikiranku berada di tempat lain. Aku terus memutar ulang skenario, mencoba menebak langkah Reno selanjutnya. Apa "kunci utama" itu? Dan bagaimana dia akan menggunakannya sekarang setelah dia berada di luar?
Malam tiba. Kantor menjadi kosong. Aku masih duduk di mejaku, dikelilingi oleh kegelapan dan lampu-lampu kota yang berkelip. Perasaan tak berdaya ini, perasaan buta ini, terasa lebih buruk daripada kemarahan atau ketakutan. Kontrol adalah oksigenku, dan aku merasa seperti sedang kehabisan napas.
Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa duduk dan menunggu serangan berikutnya. Jika metode korporatku—pengawasan langsung, permainan kekuasaan di kantor—tidak lagi berguna, maka aku harus menggunakan metode lain. Metode yang beroperasi di luar tembok kaca gedung ini. Metode yang lebih kotor.