Dua puluh empat jam berikutnya terasa seperti hidup di dua dunia yang berjalan paralel. Di dunia pertama, dunia yang terlihat, aku adalah Aletta Virmana, CEO yang sedang melakukan pengendalian kerusakan. Aku mengeluarkan pernyataan pers yang telah direstui dewan, berbicara dengan investor yang gelisah dengan nada suara yang tenang dan meyakinkan, dan mengadakan rapat dengan tim PR untuk merancang strategi jangka panjang memulihkan citra perusahaan. Aku adalah seorang profesional yang terkepung, tetapi tetap memegang kendali.
Tetapi di dunia kedua, dunia yang tersembunyi, yang hanya ada di dalam keheningan kantorku yang terkunci dan di balik layar ponsel rahasiaku, aku adalah sesuatu yang lain. Aku adalah seorang kepala intelijen. Seorang penguntit. Seorang pendengar setia dari kehidupan orang lain.
Laporan pertama dari penyelidik swastaku datang dalam bentuk folder digital yang terenkripsi, tepat saat aku sedang berada di tengah-tengah panggilan konferensi yang menegangkan. Aku harus menggunakan seluruh kekuatanku untuk tetap fokus pada suara para bankir di telepon, sementara godaan untuk membuka folder itu terasa seperti gatal di bawah kulit.
Begitu panggilan selesai, aku mengunci pintu kantorku. Aku membuka folder itu. Isinya adalah mosaik dari kehidupan Reno Dirgantara selama 24 jam terakhir. Foto-foto berkualitas tinggi yang diambil dari jarak jauh: Reno keluar dari kosannya, Reno membeli kopi di sebuah kedai kecil, Reno duduk sendirian di taman membaca buku, Reno masuk ke pusat kebugaran.
Semuanya tampak normal. Sangat normal. Kehidupan seorang mahasiswa yang sedang diskors. Tidak ada pertemuan rahasia. Tidak ada panggilan telepon yang mencurigakan. Hanya kebosanan yang banal. Aku menggulir foto-foto itu, merasa sedikit konyol. Apakah aku baru saja menghabiskan sejumlah uang yang tidak masuk akal untuk melihat musuhku membeli alpukat?
Lalu aku sadar. Ketenangan inilah yang menjadi bagian dari permainannya. Dia tahu dia mungkin diawasi. Dia sedang menampilkan pertunjukan normalitas.
Kemudian, aku membuka sub-folder kedua. Ini yang kutunggu-tunggu. "AUDIO - KENDARAAN R.D." Penyelidikku telah berhasil. Dia telah memasang penyadap di mobil Reno.
Dengan jantung berdebar, aku memasang earphone dan memutar file audio pertama. Suaranya jernih. Aku mendengar suara kunci dimasukkan, mesin mobil menyala, dan musik indie yang tidak kukenali mulai mengalun. Selama dua puluh menit, hanya itu yang kudengar. Musik, suara lalu lintas, dan sesekali, suara Reno yang bersenandung pelan mengikuti irama.
Mendengarkan ini terasa seperti sebuah pelanggaran yang intim. Aku tidak hanya mengawasinya; aku berada di dalam ruang pribadinya, menjadi penumpang tak terlihat dalam perjalanannya yang entah ke mana.
Lalu, dia membuat panggilan. Aku mengecek log dari penyelidik. Panggilan itu ditujukan kepada "Ibu". Aku menahan napas.
"Halo, Bu," suara Reno terdengar di earphone-ku. Suaranya terdengar berbeda. Lebih hangat, lebih santai.
"Reno? Bagaimana kabarmu, Nak?" suara seorang wanita paruh baya yang terdengar lelah menjawab.
"Baik, Bu. Aku baik-baik saja. Ibu sudah minum obat?"
"Sudah, sudah. Jangan khawatirkan Ibu. Bagaimana di sana? Ibu dengar dari tetangga ada berita-berita... tidak enak."