Aku duduk terpaku di kursiku, keheningan di kantorku yang gelap terasa memekakkan telinga. Suara dari rekaman itu masih terngiang di kepalaku, terutama satu kata itu.
Ibu.
Bukan panggilan sayang seorang anak pada ibunya yang sakit. Tapi sebuah laporan, sebuah tanda hormat dari seorang prajurit kepada komandannya.
Seluruh teori yang telah kubangun dengan susah payah selama beberapa hari terakhir—sebuah struktur yang rapi tentang balas dendam mantan suami—kini runtuh seperti rumah kartu. Adrian bukan dalang utamanya. Aku bisa merasakannya di sumsum tulangku. Dia mungkin seorang pemain, seorang letnan yang penting, tetapi dia bukan sang Raja, atau dalam kasus ini, sang Ratu. Ada kekuatan lain yang bermain di sini. Seseorang di atas Adrian. Seseorang yang Reno sebut sebagai "Ibu".
Pikiran ini, entah bagaimana, terasa jauh lebih menakutkan. Adrian adalah iblis yang kukenal. Aku tahu cara kerjanya, aku tahu kelemahannya, aku tahu arogansinya. Dia adalah musuh yang dekat. Tapi "Ibu" ini? Dia adalah hantu. Variabel tak dikenal dalam persamaan yang sudah sangat rumit. Dia adalah lubang hitam yang keberadaannya saja sudah cukup untuk menghancurkan semua perhitunganku.
Siapa dia? Seorang rival bisnis yang tidak kuketahui? Seorang tokoh politik dengan dendam tersembunyi? Atau sesuatu yang lebih personal, lebih dekat?
Rasa panik yang lazim mulai merayap kembali, tapi kali ini aku menekannya dengan sebuah kemarahan yang dingin. Aku tidak akan membiarkan diriku buta lagi. Aku tidak akan lagi hanya bereaksi. Aku akan proaktif. Aku akan memburu hantu ini.
Aku mengambil ponsel rahasiaku dan menelepon penyelidik swastaku lagi.
"Aku punya tugas baru," kataku saat dia menjawab. "Tugas yang lebih sulit."
"Saya mendengarkan."
"Aku baru saja mengirimimu file audio. Aku mau kau menganalisis suara pria kedua di telepon itu. Lakukan apa pun yang perlu kau lakukan—perangkat lunak pengenalan suara, bandingkan dengan basis data intelijen, apa saja. Aku mau nama."
"Itu sulit jika dia tidak ada dalam sistem," jawabnya.