Keesokan paginya, aku berdiri di depan cermin besar di kamar gantiku, mengikat simpul syal sutra di leherku. Gerakannya otomatis, sesuatu yang telah kulakukan ribuan kali. Tapi pagi ini, saat aku menatap pantulan diriku, aku melihat sesuatu yang berbeda di mataku. Kilatan dingin yang asing. Malam sebelumnya, aku telah mengambil sebuah keputusan. Dan keputusan itu telah mengubahku.
Rasionalisasi adalah mekanisme pertahanan yang luar biasa. Pikiranku, yang dilatih selama bertahun--tahun untuk membenarkan keputusan bisnis yang kejam, kini bekerja lembur untuk membenarkan rencana baruku yang mengerikan.
Ini adalah perang, kataku pada bayanganku di cermin. Dan dalam perang, kau tidak bisa memilih medan pertempuranmu. Terkadang, kau harus bertempur di selokan.
Ibu Reno, seorang wanita sakit yang tidak bersalah, bukanlah targetku. Tentu saja bukan. Dia adalah "sumber daya intelijen yang tidak disadari". Sebuah "aset pasif". Aku membungkus kekejamanku dengan jargon korporat yang dingin, sebuah anestesi untuk nuraniku sendiri. Reno dan dalangnya telah menjadikan hidup pribadiku sebagai senjata. Kini, aku hanya membalas dengan setimpal. Mata ganti mata. Luka ganti luka.
Aku menyelesaikan riasanku, topeng kesempurnaanku terpasang. Tidak ada yang akan tahu bahwa di balik CEO yang tenang ini, ada seorang wanita yang baru saja memerintahkan operasi untuk menginfiltrasi rumah seorang warga sipil yang sakit.
Langkah pertamaku adalah menelepon sang penyelidik.
"Aku punya tugas baru," kataku di jalur aman kami. "Sangat sensitif. Sangat personal."
"Saya siap," jawab suara serak itu.
"Targetnya bukan salah satu dari tiga nama sebelumnya. Targetnya adalah seorang wanita. Namanya Astuti Dirgantara. Dia ibu dari Reno Dirgantara." Aku memberinya alamat yang kudapatkan dari data HR. "Dia sakit. Penyakit kronis, kurasa. Jarang meninggalkan rumah."
Aku bisa merasakan keheningan di ujung sana, keheningan yang penuh dengan pertanyaan yang tidak ia ucapkan.