Ada suara baru dalam kehidupanku. Bukan suara lalu lintas Jakarta dari jendela kantorku, bukan pula suara notifikasi email yang tak berkesudahan. Suara ini lebih intim, lebih meresap. Itu adalah suara desis pelan dari mesin oksigen, gemerisik sprei, dan batuk kering seorang wanita yang tidak kukenal. Itu adalah suara dari kamar tidur ibu Reno.
Penyelidikku bekerja dengan kecepatan yang mengerikan. Asetnya, seorang wanita paruh baya yang dilatih sebagai perawat, berhasil ditempatkan dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Agensi perawat yang lama diberitahu bahwa keluarga membutuhkan seseorang dengan "kualifikasi perawatan paliatif tambahan". Kebohongan yang rapi dan profesional.
Dan sekarang, aku menjadi seorang penonton, seorang penguping dari tragedi sunyi sebuah keluarga. Setiap beberapa jam, file audio terenkripsi baru masuk ke ponsel rahasiaku. Di dalam kantorku yang terkunci, dengan earphone terpasang, aku mendengarkan.
Pada awalnya, yang kudengar hanyalah banalitas penderitaan. Suara perawat baruku yang lembut dan efisien—"Sudah waktunya minum obat, Bu Astuti."—diikuti oleh jawaban lemah. Aku mendengarkan acara televisi yang ia tonton. Aku mendengarkan keheningan panjang di antara percakapan. Aku menjadi seorang voyeur penderitaan, dan setiap menitnya terasa seperti mengikis sebagian kecil dari jiwaku. Aku terus mengatakan pada diriku sendiri bahwa ini perlu. Ini adalah perang. Ini adalah intelijen. Tapi rasanya seperti penodaan.
Lalu, aku mendengar suara Reno. Dia menelepon ibunya setiap hari, tepat pukul enam sore. Mendengar percakapan mereka sekarang, mengetahui bahwa agenku berada di dalam ruangan yang sama dengan ibunya, terasa sangat berbeda.
"Jangan lupa makan malam, Bu. Aku sudah pesankan sup ayam dari restoran biasa," kata Reno, suaranya penuh dengan kehangatan yang sama sekali berbeda dari monster yang kukenal.
"Kau tidak perlu repot-repot, Nak..."
"Tidak repot. Jaga diri Ibu baik-baik."
Aku mendengarkan, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan keraguan yang sesungguhnya. Apakah kebencian seorang pria bisa begitu terkotak-kotak? Bisakah dia menjadi putra yang begitu berbakti di satu sisi, dan seorang sosiopat pendendam di sisi lain? Kontradiksi itu membuatku pusing. Itu membuatnya terasa lebih berbahaya, bukan kurang.
Selama dua hari, hanya itu yang kudapatkan. Rutinitas orang sakit dan panggilan telepon seorang anak yang penuh perhatian. Penyelidikku mulai terdengar frustrasi dalam laporannya yang singkat. Aku mulai berpikir bahwa aku telah membuat kesalahan yang mahal dan tidak bermoral tanpa hasil apa pun.
Terobosan itu datang pada hari ketiga. Sore hari. Aku sedang mendengarkan rekaman terbaru. Perawatku, agenku, sedang mengobrol ringan dengan Astuti sambil membantunya minum teh.
"Putra Ibu, Reno, sepertinya sangat sayang ya pada Ibu," suara perawatku terdengar begitu alami.