Kali ini, hanya butuh tiga jam. Dengan parameter pencarian yang spesifik, hantu itu mulai menunjukkan wujudnya.
Penyelidikku mengirimkan sebuah file. Isinya adalah profil seorang Profesor Dr. Sania Widjaja. Seorang akademisi brilian di bidang ekonomi makro dan teori permainan, yang dikenal karena teorinya yang radikal tentang "perang korporat asimetris". Dia adalah seorang bintang di dunianya, hingga dia tiba-tiba pensiun dini lima belas tahun yang lalu dengan alasan kesehatan, dan menghilang dari sorotan publik.
File itu juga berisi lampiran. Daftar beberapa mahasiswa paling berprestasi yang tesisnya ia bimbing.
Aku menggulir daftar nama itu. Dan di sana, mereka berdua muncul, terdaftar hanya beberapa tahun terpisah. Dua nama yang telah mendefinisikan hidupku.
Wisnu Dirgantara. Dikenal sebagai anak didik kesayangannya di bidang kreatif dan konseptual.
Adrian Laksmana. Dikenal sebagai muridnya yang paling tajam dan kejam di bidang strategi dan eksekusi.
Aku menatap layar itu, seluruh potongan puzzle yang tadinya berserakan kini menyatu dengan bunyi klik yang mengerikan.
Ini bukan konspirasi. Ini adalah reuni keluarga yang disfungsional. Sania adalah sang matriark. Dan Wisnu serta Adrian adalah kedua putranya—yang satu seniman yang baik hati, yang satu lagi monster yang pragmatis. Dan aku, entah bagaimana, terjebak di tengah-tengah persaingan di antara mereka.
Dendam Reno bukan hanya dendam seorang anak. Itu adalah warisan dari salah satu "putra" Sania. Dan Adrian... Adrian tidak hanya membantunya. Dia juga menjalankan perintah dari mentornya.
Pertanyaan "mengapa sekarang?" masih menghantuiku. Apa pemicunya? Apakah ini sebuah ujian terakhir dari Sania untuk murid-muridnya?
Saat aku sedang mencoba mencerna implikasi yang mengerikan ini, pintu kantorku terbuka dengan keras. Daniel Choi masuk, wajahnya pucat dan panik.
"Aletta, kau harus lihat ini," katanya, suaranya terengah-engah. "Bramanta. Dia baru saja mengajukan mosi darurat kepada seluruh anggota dewan."