Waktu terasa melambat setelah aku menekan tombol "kirim". Pesan itu melesat ke dalam kehampaan digital, sebuah botol berisi pesan terakhirku yang kulempar ke lautan badai. Aku menatap layar ponsel rahasiaku, melihat tanda centang yang mengkonfirmasi pesan itu telah terkirim. Terkirim. Tapi apakah akan dibaca? Dan jika dibaca, bagaimana responsnya?
Setiap detik yang berlalu terasa seperti satu jam. Keheningan di kantorku begitu pekat, aku bisa mendengar suara darah yang berdesir di telingaku. Daniel masih berdiri di sana, menatapku dengan cemas, menunggu penjelasan.
"Apa yang kau lakukan, Al?" tanyanya pelan.
Aku meletakkan ponsel di atas meja, layar menghadap ke bawah. "Aku mengiriminya undangan," jawabku, suaraku serak.
"Undangan? Aletta, ini bukan waktunya untuk permainan! Bramanta sedang mengumpulkan para serigala untuk melahapmu hidup-hidup!"
"Aku tahu," balasku. "Itulah sebabnya aku tidak lagi bermain. Aku sedang mencoba mengakhiri perang." Aku menatap matanya. "Dan kau tidak bisa mengakhiri perang tanpa berbicara dengan prajurit musuh."
Daniel tampak tidak mengerti, tapi dia melihat sesuatu di mataku—keputusasaan yang dingin—yang membuatnya berhenti berdebat. Dia hanya duduk di kursi di seberangku, menjadi saksi bisu dari penantianku yang menyiksa.
Satu jam berlalu. Tidak ada balasan. Aku mulai merasa bodoh. Tentu saja dia tidak akan membalas. Aku baru saja menunjukkan semua kartuku. Aku memberitahunya bahwa aku tahu tentang Sania. Dari sudut pandangnya, mengapa dia harus bertemu denganku? Dia hanya perlu menunggu empat puluh delapan jam hingga dewan direksi menyelesaikan pekerjaannya untuknya. Aku telah membuat kesalahan. Sebuah kesalahan fatal yang lahir dari kepanikan.
Ponsel itu bergetar di atas meja.
Bunyinya begitu tiba-tiba hingga aku dan Daniel sama-sama tersentak. Tanganku gemetar saat meraihnya. Sebuah pesan baru dari nomor yang sama.
Jantungku berdebar kencang saat aku membukanya.
Pesan itu tidak berisi kata-kata sapaan. Tidak ada pertanyaan. Hanya sebuah instruksi yang dingin dan presisi.