Taman Suropati di malam hari merupakan sebuah dunia yang berbeda. Pohon-pohon beringin yang di siang hari tampak agung dan melindungi, kini menjelma menjadi siluet-siluet raksasa yang bongkok, dahan-dahannya menjulur seperti lengan-lengan kerangka. Udara terasa berat oleh aroma tanah basah dan bunga-bunga yang membusuk. Suara lalu lintas dari jalan raya di sekeliling taman terdengar teredam, menjadi pengingat bahwa dunia normal masih ada di suatu tempat di luar gelembung kegelapan ini.
Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang diterangi remang-remang, setiap langkahku terasa menggema di telingaku sendiri. Setiap gemerisik daun membuatku waspada. Aku merasa terekspos, rentan, jauh dari menara gadingku yang aman. Aku telah menanggalkan semua atribut kekuasaanku—setelan mahal, mobil dengan sopir, pengawal. Di sini, aku bukan CEO. Aku hanyalah Aletta. Dan itu adalah perasaan yang paling menakutkan dari semuanya.
Aku melihatnya dari kejauhan. Sebuah sosok tunggal yang duduk di bangku batu di dekat air mancur yang bergemericik pelan. Dia tidak bergerak. Dia hanya duduk di sana, menatap ke dalam kegelapan, sebuah pulau ketenangan di tengah lautan kecemasanku.
Saat aku mendekat, dia tidak menoleh. Dia tahu aku datang. Aku bisa merasakannya. Aku berhenti beberapa langkah darinya, jantungku berdebar kencang, memukul tulang rusukku seperti seekor burung yang terperangkap.
"Kau datang," katanya, suaranya tidak lebih keras dari suara air mancur. Dia tidak menatapku.
"Aku selalu menepati janjiku," jawabku, suaraku lebih mantap dari yang kuduga.
Aku duduk di ujung lain bangku itu, menjaga jarak di antara kami. Udara terasa dingin. Dia masih menatap lurus ke depan.
"Taman ini adalah salah satu tempat favorit ayahku," katanya tiba-tiba, sebuah pembukaan yang sama sekali tidak kuantisipasi. "Dia bilang, di tengah semua beton dan ambisi kota ini, setidaknya masih ada tempat di mana pohon-pohon tua lebih dihormati daripada gedung-gedung baru."
Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku tidak di sini untuk mengenang ayahnya.
"Aku tahu tentang Profesor Sania Widjaja," kataku, memotong langsung ke jantung permasalahan. Aku mengatakannya dengan tenang, tetapi kata-kata itu terasa seperti ledakan di udara malam yang sunyi.
Kali ini, dia menoleh. Di bawah cahaya lampu taman yang redup, aku bisa melihat wajahnya. Topengnya yang biasa—senyum tipis, ketenangan yang diperhitungkan—telah hilang. Yang tersisa adalah ekspresi yang lelah. Sangat lelah. Seolah dia telah membawa beban misinya selama seratus tahun.
"Jadi kau akhirnya menemukannya," jawabnya, nadanya bukan kaget, tapi lebih seperti kelegaan yang ganjil. "Aku bertanya-tanya berapa lama waktu yang kau butuhkan."