THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #34

BAB 33

Aku meninggalkan Reno di trotoar itu, kata-kata terakhirnya—"Kunci utama itu... selalu untuk Adrian."—terngiang di telingaku seperti mantra yang membingungkan. Aku tidak punya waktu untuk memecahkan teka-teki barunya. Waktu adalah kemewahan yang tidak kumiliki. Aku sedang berpacu melawan jam menuju eksekusiku sendiri.

Aku tidak kembali ke apartemenku. Itu adalah tempat pertama yang akan mereka duga. Sebaliknya, aku menyuruh taksi membawaku ke sebuah hotel bintang lima yang netral di pusat kota, tempat aku masih memiliki akun korporat atas nama samaran untuk situasi-situasi darurat seperti ini. Aku membutuhkan markas perang yang bersih.

Begitu masuk ke dalam suite yang steril dan anonim, aku tidak melepas sepatuku. Aku tidak menyalakan televisi. Aku mengeluarkan ponsel rahasiaku dan melakukan panggilan pertama.

"Aku punya pekerjaan untukmu," kataku pada penyelidik swastaku saat dia menjawab. "Sangat sensitif. Sangat mendesak."

Aku menjabarkan informasi yang diberikan Reno. Hartono Wiratama. Putra tunggalnya, Banyu Wiratama. Utang judinya di Makau. Dan peran Adrian sebagai "penyelamat" rahasia.

"Aku tidak mau ini terlihat datang dariku," perintahku, suaraku dingin dan presisi. "Bocorkan ceritanya. Hubungi kontakmu di blog gosip finansial yang paling kejam. Bingkai ceritanya bukan sebagai serangan pada Hartono, tapi sebagai sebuah 'ekspos' tentang bagaimana para taipan saling melindungi anak-anak mereka yang bermasalah. Pastikan nama Adrian disebut dengan jelas sebagai 'sang dermawan'. Kita tidak sedang mencoba menghancurkan Hartono. Kita sedang mengiriminya pesan bahwa kita bisa melakukannya kapan saja."

"Ini akan membakar jembatan secara permanen, Nona Virmana," kata penyelidik itu, sebuah peringatan yang langka darinya.

"Jembatan itu sudah terbakar," balasku. "Aku hanya memastikan apinya membakar orang yang tepat. Lakukan sekarang."

Aku menutup telepon. Langkah pertama telah dijalankan.

Beberapa saat kemudian, Daniel tiba di kamarku. Wajahnya pucat karena khawatir. "Kau menghilang. Aku menelepon sopirmu, dia bilang kau pergi dengan taksi. Apa yang terjadi di taman itu?"

"Kita membentuk gencatan senjata," kataku, sambil membuka laptopku. "Dan kita baru saja melancarkan serangan pertama kita."

Aku menghabiskan malam itu bersama Daniel, mengubah suite hotelku menjadi ruang perang darurat. Sementara penyelidikku bekerja dalam bayang-bayang, kami mempersiapkan diri untuk pertempuran di ruang rapat. Kami menelusuri daftar anggota dewan, memetakan aliansi, menghitung suara. Kami seperti dua politisi yang mempersiapkan diri untuk malam pemilihan paling penting dalam hidup kami. Daniel, dengan koneksi sosialnya, menghubungi beberapa anggota dewan yang netral, mencoba merasakan ke mana arah angin bertiup. Aku, di sisi lain, mempersiapkan argumenku, menyusun presentasi yang akan kubawakan—bukan sebagai terdakwa yang membela diri, tetapi sebagai seorang pemimpin yang berperang dan menuntut loyalitas.

Di tengah malam, saat kami sedang menatap bagan alur yang rumit, ponsel rahasiaku bergetar. Sebuah pesan dari Reno.

Lihat selengkapnya