THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #35

BAB 34

Berjalan menyusuri lorong menuju ruang rapat dewan pagi itu terasa berbeda. Udara di sekitarku berderak dengan energi, campuran antara ketakutan dan antisipasi. Karyawan-karyawan yang kulewati menundukkan kepala, tidak berani menatap mataku, seolah aku adalah seorang terpidana mati yang sedang berjalan menuju tiang gantungan. Mungkin, memang itulah aku. Tapi jika aku memang akan digantung hari ini, aku bersumpah akan melakukannya dari tiang gantungan yang kubangun sendiri, dengan tali yang kupilih sendiri.

Bramanta sudah menungguku di luar pintu ruang rapat, senyumnya adalah yang paling lebar yang pernah kulihat. Itu adalah senyum seekor hyena yang sudah bisa mencium bau kematian.

"Nikmati jam-jam terakhirmu di puncak, Aletta," desisnya, suaranya penuh dengan kemenangan yang prematur. "Pemandangannya pasti indah dari atas sana."

Aku berhenti dan menatapnya, sebuah senyum tipis tersungging di bibirku. "Kau yang seharusnya menikmatinya, Bramanta," balasku lembut. "Karena ini adalah pemandangan terdekat yang akan pernah kau capai."

Aku meninggalkannya dengan ekspresi bingung di wajahnya dan melangkah masuk ke dalam ruang eksekusi.

Semua orang sudah ada di sana. Tegang. Cemas. Tirtayasa, sang Ketua Dewan, duduk di ujung meja dengan wajah muram. Hartono Wiratama, target pemerasanku, tidak berani menatapku. Pak Soeharto, mata-mata Adrian, tampak gelisah, terus-menerus merapikan dasinya. Daniel menatapku dari seberang meja, matanya penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.

Rapat dimulai dengan formalitas yang membosankan, seolah ini adalah pertemuan bisnis biasa. Lalu, Tirtayasa memberikan panggung pada Bramanta.

Bramanta berdiri, merapikan jasnya yang mahal, dan memulai pidatonya. Itu adalah pertunjukan. Dia berbicara dengan penuh semangat tentang "tata kelola perusahaan", tentang "tanggung jawab pada pemegang saham", tentang "kepemimpinan yang stabil". Dia dengan ahli merangkai semua krisis yang terjadi—dua artikel yang viral, penonaktifan Reno—menjadi narasi tunggal tentang kegagalanku. Dia melukisku sebagai seorang pemimpin yang impulsif, tidak stabil secara emosional, dan telah menjadi liabilitas yang terlalu besar bagi perusahaan.

"Oleh karena itu," ia menyimpulkan, suaranya menggelegar di ruangan yang sunyi, "dengan berat hati, saya mengajukan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan CEO Aletta Virmana."

Semua mata kini tertuju padaku. Mereka menungguku membela diri. Mereka menunggu argumen, penyangkalan, mungkin permohonan.

Lihat selengkapnya