Kemenangan memiliki bau yang aneh. Bau seperti ozon setelah sambaran petir—bersih, tajam, dan penuh dengan bau kehancuran. Pagi setelah rapat dewan direksi itu, saat aku berjalan menyusuri lorong kantorku, bau itulah yang menyambutku.
Keheningannya berbeda. Dulu, ini adalah keheningan yang penuh dengan bisik-bisik dan gosip. Sekarang, ini adalah keheningan yang lahir dari rasa takut. Orang-orang tidak lagi berani menatap mataku. Mereka menundukkan kepala saat aku lewat, berpura-pura sibuk dengan layar komputer mereka. Aku tidak lagi hanya CEO mereka; aku telah menjadi momok, cerita peringatan tentang apa yang terjadi jika kau menantang takhta. Aku telah mengamankan kekuasaanku, tetapi dalam prosesnya, aku telah mengubah kerajaanku menjadi mausoleum yang sunyi.
Bramanta dan Soeharto sudah lenyap, seolah mereka tidak pernah ada. Meja kerja mereka telah dibersihkan sebelum fajar oleh tim personalia, semua jejak mereka dihapus dari sistem. Cepat. Efisien. Tanpa ampun. Begitulah caraku bekerja.
Aku menghabiskan pagi itu dengan melakukan apa yang dilakukan seorang pemenang: mengkonsolidasikan kekuasaan. Aku mengadakan pertemuan dengan para kepala departemen, menjabarkan "visi baru" perusahaan pasca-"restrukturisasi dewan". Aku berbicara tentang stabilitas, fokus, dan masa depan yang cerah. Itu semua adalah kebohongan korporat yang indah, dan mereka semua menelannya mentah-mentah karena mereka tidak punya pilihan lain.
Satu-satunya orang yang berani menentang narasi baruku adalah Daniel.
Dia masuk ke kantorku menjelang makan siang, menutup pintu di belakangnya. Kehangatan yang biasanya ada di matanya telah hilang, digantikan oleh kekecewaan yang suram.
"Itu tadi sebuah pembantaian, Aletta," katanya, suaranya pelan.
"Itu adalah pengendalian hama," balasku, tanpa mengangkat mata dari dokumen yang sedang kubaca.
"Kau menghancurkan mereka. Kau menggunakan informasi pribadi untuk memeras Hartono. Kau mempermalukan Soeharto di depan semua orang. Ini bukan dirimu."
Akhirnya aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. "Ini adalah persis diriku, Daniel. Diriku yang kau dan semua orang di gedung ini andalkan untuk melindungi investasi kalian. Kau mau seorang teman yang baik hati di kursi ini, atau kau mau seorang Ratu yang bisa menjaga serigala-serigala tetap di luar gerbang?"
"Bagaimana jika sang Ratu sendiri yang menjadi serigala?" balasnya, dan kata-kata itu terasa seperti tamparan. "Aku melihat wajah-wajah di dewan tadi. Mereka tidak lagi menghormatimu. Mereka takut padamu."
"Rasa takut bertahan lebih lama dari rasa hormat," kataku, mengutip sebuah pepatah lama yang kejam.
Daniel menggelengkan kepalanya perlahan, ekspresinya sedih. "Aku tidak tahu lagi siapa yang sedang kulihat di depanku." Dia berbalik dan berjalan menuju pintu. "Hati-hati, Aletta. Takhta yang dibangun di atas rasa takut adalah takhta yang sangat sepi."