Kantorku tidak lagi terasa seperti ruang eksekusi. Kini ia telah berubah menjadi markas perang. Papan tulis kaca yang tadinya dipenuhi dengan ide-ide kampanye yang ceria, sekarang dihapus bersih dan digantikan oleh sebuah diagram yang rumit dan mengancam. Di tengahnya, kutulis sebuah nama: ADRIAN LAKSMANA. Dari nama itu, cabang-cabang menjulur ke segala arah, menghubungkannya dengan perusahaan-perusahaan cangkang, politisi, kolega bisnis, dan aset-aset mewahnya. Ini adalah peta dari kerajaan musuhku.
Aliansi baruku dengan Reno adalah hal yang paling aneh yang pernah kualami. Tidak ada lagi sandiwara. Tidak ada lagi kebohongan yang halus. Yang ada hanyalah pragmatisme yang brutal. Kami adalah dua negara yang saling membenci, yang setuju untuk menandatangani pakta pertahanan sementara karena ada naga yang lebih besar yang mengancam akan membakar kami berdua.
Dia akan datang ke kantorku setiap sore setelah timnya selesai bekerja. Citra akan membawakan kami kopi dalam diam, dengan tatapan mata yang tidak lagi berani bertanya. Lalu kami akan berdiri di depan papan tulis itu selama berjam-jam, seperti dua jenderal yang merencanakan invasi.
"Kita harus menyerangnya di tempat yang paling sakit," kataku pada pertemuan strategi pertama kami. "Bisnisnya. Adriantho & Co. Itu adalah sumber utama kekuasaan dan uangnya. Aku punya beberapa kontak di Otoritas Jasa Keuangan. Kita bisa memicu audit anonim, mencari pelanggaran sekecil apa pun, dan membocorkannya ke media." Ini adalah duniaku. Perang korporat yang dingin dan terstruktur.
Reno menggelengkan kepalanya, matanya terpaku pada papan tulis. "Itu terlalu lambat," katanya. "Dan terlalu bersih. Adrian adalah seekor tikus got yang mengenakan setelan jas. Dia punya puluhan pengacara yang dibayar hanya untuk memastikan audit seperti itu tidak akan pernah menemukan apa-apa. Kita tidak bisa melawannya di medannya sendiri. Dia yang menulis aturan main di sana."
"Lalu apa saranmu?" tanyaku, nada suaraku tajam. Aku tidak terbiasa strategiku ditolak, terutama oleh seseorang yang gajinya bahkan belum cukup untuk membayar cicilan mobilku.
"Kita tidak menyerang bisnisnya," jawab Reno, berbalik menatapku. "Kita menyerang egonya. Kita tidak mengambil uangnya. Kita mengambil harga dirinya."
Dia berjalan mendekati papan tulis dan melingkari sebuah kata di bawah nama Adrian: Kolektor Seni & Filantropis.
"Ini," katanya, mengetuk lingkaran itu dengan spidol. "Ini adalah kelemahannya. Adrian tidak peduli pada uang sebanyak dia peduli pada citranya sebagai seorang pria dengan selera yang sempurna, seorang Medici modern di Jakarta. Dia membangun seluruh identitasnya di atas reputasinya sebagai seorang kolektor yang tak bercela."