THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #40

BAB 39

Ada keheningan yang aneh setelah sebuah dosa besar dilakukan secara bersama-sama. Aku dan Reno kembali ke peran kami masing-masing di AV Corp, seperti dua aktor yang baru saja turun dari panggung setelah adegan pembunuhan yang melelahkan. Kami membahas revisi kampanye Sentosa di depan tim. Kami bertukar email profesional tentang tenggat waktu dan anggaran. Kami menjalankan sandiwara kami dengan sempurna, fasad normalitas yang begitu meyakinkan hingga terkadang aku sendiri hampir lupa pada ruang arsip yang berdebu dan kebohongan indah yang kami ciptakan di sana.

Tapi aku tahu dia juga merasakannya. Ketegangan di antara kami kini berbeda. Dulu, itu adalah ketegangan antara predator dan mangsa. Sekarang, berubah menjadi ketegangan antara dua konspirator yang terikat oleh sebuah rahasia yang terlalu berat, yang nasibnya kini saling terkait. Kami tidak saling percaya, tapi kami saling bergantung. Posisi yang jauh lebih berbahaya.

Hari-hari berlalu dengan lambat, setiap jam terasa seperti tetesan air yang jatuh di dahi seorang tahanan. Aku terus-menerus memantau portal berita seni internasional, menyegarkan halaman New York Times setiap tiga puluh menit, menunggu. Setiap dering telepon membuatku melompat. Aku menjadi seorang pecandu adrenalin yang menunggu dosis berikutnya.

Sementara itu, duniaku yang lain terus berputar. Laporan dari perawat yang mengawasi ibu Reno terus masuk. Isinya sebagian besar sama: rutinitas seorang wanita sakit, percakapan tentang masa lalu, dan telepon harian dari putranya. Satu laporan menyebutkan Astuti sedang melihat-lihat album foto lama, menangis pelan saat melihat foto-foto suaminya. "Dia seniman yang hebat," bisiknya pada perawatku, "tapi dunia ini terlalu kejam untuk orang-orang sepertinya."

Membaca itu terasa seperti sebuah sayatan kecil di hatiku. Menjadi pengingat akan kerusakan tambahan dalam perangku. Aku mengabaikannya. Aku harus. Empati adalah kemewahan yang tidak bisa kumiliki saat ini.

Tanda pertama bahwa bom kami telah sampai di tujuannya datang pada hari Senin, tiga hari sebelum acara lelang. Aku menerima telepon dari kontak kurator seniku, suaranya terdengar panik.

"Aletta, ada yang aneh," katanya. "Aku baru saja mendapat telepon dari seorang jurnalis. Chloe Zhang dari New York Times. Dia bertanya-tanya tentang sejarah akuisisi seni pasca-perang. Dia menyebut-nyebut nama Adrian Laksmana dan lukisan barunya. Dia terdengar seperti sedang mengejar sebuah cerita besar. Kau tahu sesuatu tentang ini?"

"Aku tidak tahu apa-apa," jawabku dengan kebohongan yang lancar. "Mungkin hanya riset biasa."

Tapi setelah menutup telepon, aku merasakan gelombang kemenangan yang dingin. Umpan telah dimakan. Mesinnya sedang bekerja.

Lihat selengkapnya