THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #41

BAB 40

Ada ritual yang kulakukan sebelum memasuki medan perang. Proses transformasi di mana Aletta, sang wanita, menghilang dan digantikan oleh Aletta, sang CEO. Malam ini, ritual itu terasa lebih penting dari sebelumnya.

Aku tidak memilih gaun. Aku memilih baju zirah. Sehelai gaun panjang berwarna perak cair yang menempel di tubuhku seperti kulit kedua, dengan potongan leher yang tajam dan asimetris. Tidak ada yang lembut tentang gaun ini. Gaun ini dirancang untuk memantulkan cahaya dan menangkis tatapan. Perhiasanku minimalis—sepasang anting berlian yang tajam seperti pecahan es. Riasanku adalah topeng kesempurnaan, bibirku dipoles dengan warna merah gelap yang bisa diartikan sebagai gairah atau darah. Saat aku menatap pantulan diriku, aku tidak melihat wanita yang malam sebelumnya merencanakan kejahatan. Aku melihat senjata yang telah dipoles.

Perjalanan menuju hotel tempat lelang diadakan adalah siksaan terpanjang dalam hidupku. Aku duduk di belakang mobilku yang senyap, tetapi di dalam kepalaku, suasananya riuh. Aku secara kompulsif memeriksa ponsel rahasiaku, menyegarkan situs New York Times setiap tiga puluh detik. Belum ada apa-apa. Tali busur itu telah ditarik, anak panahnya telah dilepaskan, tapi aku belum tahu apakah ia akan mengenai sasaran. Setiap menit yang berlalu tanpa berita terasa seperti kegagalan.

"Kita sudah sampai, Bu," suara sopirku menyadarkanku.

Aku menarik napas dalam-dalam, memasang topengku, dan melangkah keluar.

Ballroom hotel itu telah diubah menjadi kuil pemujaan Adrian. Dindingnya dilapisi kain beludru hitam, puluhan pelayan bergerak tanpa suara membawa nampan berisi sampanye dan kaviar. Di tengah ruangan, di atas panggung kecil, terpasang mahakarya yang menjadi pusat dari semua ini: lukisan "Senja di Pelabuhan Rouen", yang baru saja diakuisisi Adrian dengan harga fantastis. Lukisan itu disinari dengan cara yang membuatnya tampak hidup, seolah memancarkan cahayanya sendiri. Di sekelilingnya, berkumpul elite Jakarta—para taipan, politisi, sosialita—semua berdandan, tersenyum, dan saling menilai. Ini bukan acara amal. Ini adalah pasar budak modern, di mana orang-orang menawar harga untuk sebuah ilusi kedekatan dengan kekuasaan.

Dan di pusat dari semua itu, berdiri sang Raja. Adrian.

Aku melihatnya di seberang ruangan. Dia tampak bersinar, dikelilingi oleh para pemujanya. Dia tertawa, menepuk punggung seorang menteri, dan mencium pipi seorang istri duta besar. Dia adalah matahari, dan semua orang di sini adalah planet yang dengan senang hati mengorbitnya.

Dia melihatku. Matanya bertemu dengan mataku. Dia tidak tampak terkejut. Dia tersenyum—senyum yang lebar, percaya diri, dan penuh dengan kemenangan. Senyum itu seolah berkata, Lihat? Pada akhirnya, kau tetap datang ke pestaku. Kau tetap berada di duniaku.

Aku merasakan gelombang kemarahan yang dingin. Aku hanya mengangguk singkat padanya, pengakuan yang kubuat terasa seperti sebuah penghinaan, lalu berbalik sebelum dia bisa mendekat. Aku tidak akan memberinya kepuasan itu.

Lihat selengkapnya