THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #42

BAB 41

Dunia di sekelilingku seolah menyempit menjadi terowongan, dan di ujungnya hanya ada satu figur: wanita itu. Sania Widjaja. Namanya terasa seperti kata sandi di benakku, membuka kunci pemahaman atas segala sesuatu yang telah terjadi. Wanita yang mengajar Adrian cara menjadi monster. Wanita yang mengajar Wisnu cara bermimpi, lalu mungkin, mengizinkan monster ciptaannya yang lain untuk melahap mimpi itu. Dan kini, wanita yang sama sedang menatap ke arahku dari seberang ruangan.

Aku merasakan getaran di sampingku. Reno. Dia telah bergerak lebih dekat, berpura-pura mengambil canapé dari nampan yang lewat.

"Jangan," bisiknya, suaranya begitu pelan hingga hampir saja tertelan oleh musik jazz yang mengalun. "Jangan bereaksi. Dia sedang mengamatimu. Sejak kau masuk."

Tentu saja dia mengamatiku. Ini adalah papan caturnya. Kami semua adalah bidaknya. Aku menarik napas, memaksa otot-otot di wajahku untuk rileks, mengubah keterkejutanku menjadi ekspresi ketertarikan yang sopan. Aku adalah Aletta Virmana. Aku tidak pernah terlihat terintimidasi, bahkan jika di dalam diriku sedang terjadi perang dunia ketiga.

"Aletta! Senang sekali kau akhirnya bisa datang!"

Suara Adrian memecah konsentrasiku. Dia berjalan ke arahku, senyumnya lebar dan penuh pesona palsu. Dia seperti seorang kaisar yang sedang menyapa seorang gubernur dari provinsi yang jauh. Di belakangnya, seperti dua pengawal pribadinya, berjalan Darmawan dan Sania. Mereka bergerak bersama, simbol trinitas kekuasaan yang tidak suci.

"Adrian," balasku, memaksakan senyum kecil. "Acaramu spektakuler, seperti biasa."

"Aku hanya melakukan yang terbaik," katanya, lalu memberi isyarat pada dua orang di belakangnya. "Aku ingin kau bertemu dengan seseorang. Ini Darmawan, kau mungkin sudah kenal dari dunia perbankan."

Aku mengangguk singkat pada Darmawan. Dia balas mengangguk, wajahnya tanpa ekspresi. "Dan ini," kata Adrian, suaranya dipenuhi dengan rasa hormat yang langka, "seseorang yang sangat spesial. Seorang teman lama dan mentor yang paling kuhormati. Profesor Sania Widjaja."

Akhirnya. Kami berhadapan.

Aku mengulurkan tanganku. "Sebuah kehormatan, Profesor," kataku, suaraku terdengar mantap.

Sania menjabat tanganku. Jabatannya kuat, kulitnya terasa dingin dan kering seperti kertas tua. Tapi matanya... matanya adalah hal yang paling menonjol. Mata itu tidak hanya melihatmu; mata itu memindaimu, menganalisismu, dan mungkin sudah menemukan tiga cara berbeda untuk menghancurkanmu sebelum kau selesai menarik napas.

"Aletta Virmana," katanya, suaranya tenang dan berirama, seperti seorang dosen yang sedang mengajar. "Akhirnya kita bertemu. Saya sudah banyak mendengar tentang Anda." Dia berhenti sejenak, matanya menatapku dengan geli. "Adrian sering menceritakan... keuletan Anda."

Lihat selengkapnya