Getaran singkat dari ponsel di dalam tas genggamku terasa seperti denyut jantung kedua. Sinyal itu telah diberikan. Artikel itu telah terbit. Aku tidak melihat ponselku. Aku tidak perlu. Aku hanya mengangkat kepalaku sedikit, menarik napas perlahan, dan bersiap untuk menonton pertunjukan.
Di atas panggung, sang juru lelang sedang berada di puncak permainannya. "Dua puluh juta dolar dari Tuan Hartono Wiratama! Adakah yang berani dua puluh satu? Dua puluh juta dolar, sekali... dua kali..."
Saat itulah suara pertama terdengar. Bukan ledakan. Bukan teriakan. Tapi sebuah suara yang jauh lebih modern dan merusak: suara notifikasi ponsel. Satu, lalu dua, lalu selusin. Menjelma menjadi wabah digital yang menyebar tanpa suara di dalam keheningan yang tegang.
Aku melihatnya dimulai dari meja di dekat bar. Seorang editor majalah gaya hidup tiba-tiba berhenti menyesap minumannya, matanya terpaku pada layar ponselnya. Alisnya terangkat. Dia dengan cepat mencondongkan tubuhnya dan menunjukkan layarnya pada seorang desainer interior terkenal di sebelahnya. Ekspresi sang desainer berubah dari kebosanan menjadi keterkejutan yang tak terselubung.
Seperti virus, informasi itu menyebar. Dari satu ponsel ke ponsel lain. Dari satu bisikan ke bisikan lain. Ruangan yang tadinya hening dan terfokus pada panggung kini mulai bergemuruh dengan energi yang baru dan gelisah. Gemericik es di dalam gelas, gumaman yang tertahan. Suara kolektif dari seratus orang kaya dan berkuasa yang baru saja menerima gosip terpanas tahun ini.
Sang juru lelang, yang merasakan perubahan atmosfer, mulai goyah. "Dua puluh juta dolar..." ulangnya, suaranya kini terdengar ragu.
Aku melirik ke arah Sania di sampingku. Dia tidak melihat ponselnya. Dia tidak tampak terganggu oleh keributan itu. Dia hanya mengamatiku, matanya yang tajam dan analitis seolah sedang mengukur reaksiku terhadap kekacauan yang sedang terjadi.
Di atas panggung, Adrian mulai tampak kesal. Dia pikir ini hanyalah gangguan kecil, para tamunya yang tidak sopan. Dia memberi isyarat pada Darmawan, yang segera turun dari panggung, mungkin untuk menegur beberapa tamu.
Tapi sudah terlambat. Bisikan-bisikan itu kini menjadi lebih keras. Aku bisa menangkap beberapa kata yang melayang di udara.
"...New York Times..."