Pagi setelah malam pelelangan terasa seperti pagi setelah perang besar berakhir. Ada keheningan yang aneh di udara, keheningan yang dipenuhi oleh puing-puing dan gema ledakan.
Dunia finansial dan sosial Jakarta sedang berpesta pora di atas mayat reputasi Adrian Laksmana. Ponselku dibanjiri oleh pesan dan panggilan dari orang-orang yang pura-pura prihatin, yang semuanya sebenarnya hanya ingin mendapatkan informasi dari sumbernya langsung. Aku mengabaikan mereka semua. Aku hanya fokus pada tiga layar di depanku: satu menampilkan harga saham AV Corp yang meroket, satu menampilkan artikel New York Times yang telah menjadi viral secara global, dan satu lagi menampilkan siaran langsung dari kanal berita bisnis di mana para analis dengan gembira membedah kejatuhan seorang titan.
Aku telah memberikan mereka darah, dan mereka menyukainya.
Rapat dewan direksi pagi itu adalah sebuah formalitas yang memuaskan. Para anggota dewan yang seminggu lalu menatapku seperti terdakwa, kini menatapku dengan kekaguman yang penuh rasa takut. Hartono Wiratama, yang reputasi keluarganya kuselamatkan dengan menghancurkan reputasi Adrian, adalah orang pertama yang menjabat tanganku, matanya penuh dengan rasa terima kasih yang dipaksakan. Tirtayasa, sang ketua dewan, memujiku secara terbuka atas "kepemimpinan yang tegas di tengah krisis".
Bahkan Daniel, meskipun masih menjaga jarak, memberiku sebuah anggukan pengakuan. Aku telah membuktikan poinku. Di dunia ini, kekuatan adalah satu-satunya bahasa yang dimengerti semua orang. Posisiku sebagai CEO tidak lagi hanya aman; kini tak tergoyahkan.
Secara teori, aku seharusnya merasa menang. Aku telah selamat dari kudeta. Aku telah menghancurkan musuh bebuyutanku. Aku telah mengkonsolidasikan kekuasaanku.
Tapi di dalam keheningan kantorku setelah rapat usai, aku tidak merasakan kemenangan. Aku merasakan kekosongan. Karena aku tahu, aku tidak memenangkan permainanku sendiri. Aku baru saja dengan sempurna mengeksekusi sebuah babak dalam permainan orang lain. Permainan Sania.
Aku memanggil Reno ke kantorku. Saat dia masuk, sandiwara di antara kami telah lenyap sepenuhnya. Kami adalah dua orang yang berbagi rahasia yang terlalu besar, dan itu menciptakan sebuah keintiman yang aneh dan tidak nyaman.
"Adrian sudah hancur," kataku, tanpa basa-basi. "Sania mendapatkan apa yang ia mau. Sekarang, katakan padaku kenapa."
Reno berjalan ke papan tulisku, yang masih menyimpan sisa-sisa diagram serangan kami terhadap Adrian. Dia mengambil penghapus dan membersihkannya. Memperlihatkan gestur simbolis. Babak itu sudah berakhir.
"Profesor Sania memiliki sebuah filosofi," katanya, suaranya terdengar seperti seorang akademisi, bukan anak magang. "Dia percaya bahwa sistem—baik itu pasar, perusahaan, atau masyarakat—menjadi stagnan dan korup karena terlalu banyak 'kayu mati' di puncaknya. Orang-orang seperti Adrian. Mereka tidak lagi berinovasi, mereka hanya mengakumulasi kekuasaan. Sania percaya bahwa sesekali, sistem membutuhkan 'kebakaran hutan' untuk membersihkan kayu-kayu mati itu, agar sesuatu yang baru bisa tumbuh."