THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #47

BAB 46

Kemenangan korporatku terasa seperti berita dari setahun yang lalu. Kejatuhan Adrian Laksmana, yang dua hari lalu menjadi pusat duniaku, kini terasa seperti sebuah catatan kaki yang tidak penting. Pikiranku telah bergerak maju, terobsesi pada satu anomali, satu pertanyaan yang membakar lebih panas daripada semua api yang telah kami nyalakan: Mengapa Sania Widjaja mengunjungi seorang wanita sakit di pinggiran kota?

Kantorku tidak lagi menjadi markas perang melawan Adrian. Kini ia telah menjadi pusat komando untuk sebuah perburuan hantu. Aku menghapus bersih papan tulisku. Di tengahnya, aku menulis satu nama: SANIA WIDJAJA. Dari nama itu, aku menarik garis-garis, menghubungkannya dengan semua yang kutahu: Adrian, Wisnu, Darmawan, Reno. Dan kini, sebuah garis baru yang paling membingungkan, menuju ke Astuti Dirgantara.

Aku menghabiskan pagi itu dengan menatap papan itu, mencoba melihat pola yang tidak kulihat sebelumnya. Aku tidak lagi peduli pada permainannya. Aku peduli pada dirinya. Siapa wanita ini? Apa yang mendorongnya? Dendam? Ideologi? Kegilaan? Musuh yang tidak kau pahami adalah musuh yang tidak bisa kau kalahkan.

Langkah pertamaku adalah mengerahkan kembali pasukanku.

"Lupakan pengawasan pasif terhadap Adrian dan Darmawan," kataku pada penyelidik swastaku melalui jalur aman. "Aku mau kau memfokuskan semua sumber dayamu pada satu target: Sania Widjaja. Aku mau kau membongkar hidupnya. Sisir arsip universitas, suap petugas catatannya jika perlu. Wawancarai mantan kolega-koleganya, cari mantan mahasiswanya. Aku mau tahu apa yang ia makan untuk sarapan dua puluh tahun yang lalu. Tidak ada batu yang tidak dibalik."

Langkah keduaku adalah mengkonfrontasi pionnya. Aku memanggil Reno ke kantorku.

Dia masuk dengan ketenangan yang kini terasa seperti sebuah fasad yang lelah. Kemenangan semu di acara lelang sepertinya tidak memberinya kepuasan, sama sepertiku. Kami adalah dua pemenang yang merasa seperti pecundang.

"Dia mengunjungi ibumu," kataku tanpa basa-basi saat pintu tertutup. Aku memperhatikannya seperti seekor elang, mencari retakan sekecil apa pun.

Untuk pertama kalinya, aku melihatnya benar-benar terkejut. Hanya sesaat, tapi itu nyata. Matanya sedikit melebar. Dia tidak menyangka aku tahu.

"Bagaimana kau..." dia memulai, lalu berhenti, sadar bahwa pertanyaan itu tidak penting.

"Kenapa, Reno?" tanyaku. "Di saat seharusnya dia bersembunyi di balik bayang-bayang, merayakan kemenangannya, mengapa dia mengambil risiko untuk menunjukkan dirinya di tempat seperti itu?"

Reno memalingkan wajahnya, menatap ke luar jendela. "Dia teman lama keluarga," jawabnya, sebuah kebohongan yang terdengar lemah bahkan di telinganya sendiri. "Dia datang untuk menunjukkan belasungkawa dan memberikan dukungan."

"Dukungan?" balasku sinis. "Seorang wanita yang mendalangi sebuah konspirasi rumit untuk menghancurkan musuh-musuhnya tiba-tiba memutuskan untuk menjadi seorang suster amal? Aku tidak percaya itu. Dan kau juga tidak."

Aku berjalan mendekat. "Ini tugas barumu dalam aliansi kita. Aku tidak lagi butuh intelijen tentang Bramanta atau dewan direksi. Aku butuh intelijen tentang komandanmu. Cari tahu kenapa dia datang. Tanyakan padanya langsung jika perlu. Kau adalah satu-satunya penghubungku dengannya. Bawa padaku sebuah jawaban yang nyata, atau perjanjian kita batal saat ini juga."

Aku sedang memojokkannya, memaksanya untuk menunjukkan loyalitasnya.

Dia menatapku, matanya gelap dan sulit dibaca. "Kau meminta saya untuk mengkhianati satu-satunya orang yang telah melindungi keluarga saya seumur hidup."

"Aku memintamu untuk menepati bagianmu dari kesepakatan," balasku dingin. "Kau ingin menghancurkan Adrian. Aku juga. Tapi kita tidak bisa melakukannya jika Ratu-nya masih mengendalikan permainan dari balik tirai. Bantu aku menyeretnya keluar ke tempat terang."

Dia tidak menjawab, hanya memberiku sebuah anggukan singkat yang ambigu sebelum pergi. Aku tidak tahu apakah dia akan melakukannya atau tidak.

Lihat selengkapnya