Ponsel itu terlepas dari genggamanku dan jatuh ke karpet tebal di kantorku tanpa suara. Tapi di dalam kepalaku, suara jatuhnya terdengar seperti ledakan granat.
Bilang pada majikanmu bahwa beberapa kunci memang sengaja dibuat untuk tidak pernah ditemukan.
Itu bukan sekadar pesan. Itu adalah pernyataan kemenangan dari pihak musuh. Itu adalah tawa mereka yang dingin, yang dikirim melalui seorang wanita tua yang sakit dari sebuah kamar tidur di pinggiran kota, langsung ke pusat kerajaanku.
Mereka tahu.
Entah bagaimana, mereka tahu segalanya.
Mereka tahu tentang penyelidik swastaku. Mereka tahu tentang perawat palsu. Mereka tahu aku sedang mendengarkan. Seluruh operasi rahasiaku yang kubanggakan, permainanku yang cerdas dan kotor, ternyata hanyalah sebuah pertunjukan boneka yang canggung, dan mereka adalah penonton yang telah membaca naskahnya sejak awal.
Gelombang panas rasa malu yang membakar menjalari tubuhku, diikuti oleh rasa dingin dari ketakutan yang murni. Aku merasa telanjang. Terlihat. Aku, Aletta Virmana, sang ahli strategi, sang Ratu di menara gading, ternyata hanyalah seorang amatir yang bodoh, yang dengan sombongnya berjalan masuk ke dalam perangkap yang bahkan tidak kusadari keberadaannya.
Pikiran pertamaku yang jernih adalah tentang agenku. Perawat itu. Dia berada di dalam rumah musuh yang telah menyadari kehadirannya.
Dengan tangan gemetar, aku meraih ponsel rahasiaku dan menelepon penyelidikku.
"Tarik asetmu keluar," desisku ke telepon, suaraku nyaris tidak keluar. "Sekarang juga. Batalkan operasinya. Dia ketahuan."
"Apa yang terjadi?" tanya suara serak itu.
"Jangan bertanya. Lakukan saja. Bawa dia keluar dari sana!"