THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #50

BAB 49

Ada tiga jenis keberanian. Keberanian yang lahir dari keyakinan, keberanian yang lahir dari kebodohan, dan keberanian yang lahir dari keputusasaan total. Saat aku melangkah keluar dari lift di lobi gedungku yang sunyi pada pukul tiga dini hari, aku tidak yakin yang mana yang sedang kupakai.

Pak Budi, sopir pribadiku yang telah bekerja denganku selama sepuluh tahun, menungguku di dekat pintu. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran. Dia melihat tas travel kecil di tanganku, melihat pakaian gelapku yang sederhana, dan tidak mengatakan apa-apa. Dia cukup pintar untuk tahu bahwa ini bukan perjalanan bisnis biasa.

"Kita berangkat sekarang, Pak," kataku, suaraku terdengar mantap.

"Baik, Bu," jawabnya, membukakan pintu mobil untukku.

Kami meluncur keluar dari basement, meninggalkan kerajaanku yang kosong dan sunyi di belakang. Saat mobil berbelok ke jalan utama, aku menoleh ke belakang sekali lagi, menatap puncak menara AV Corp yang menjulang, puncaknya diselimuti kabut tipis malam hari. Rasanya seperti mengucapkan selamat tinggal.

Perjalanan dari pusat Jakarta menuju Bogor di jam-jam terkutuk ini adalah sebuah pengalaman yang aneh. Jalanan tol Jagorawi yang biasanya padat kini kosong melompong, sebuah pita aspal hitam yang terbentang tak berujung di bawah cahaya lampu jalan yang oranye. Kota ini, dengan segala kerumitan dan kekejamannya, terasa seperti tertidur. Kami melaju dengan kecepatan tinggi, dan gedung-gedung pencakar langit dengan cepat surut di kaca spion, digantikan oleh kegelapan.

Aku tidak mencoba tidur. Aku juga tidak bekerja. Aku hanya menatap ke luar jendela, membiarkan pikiranku menjadi sebuah sungai yang mengalir deras.

Aku memikirkan Adrian. Bukan lagi dengan kemarahan yang membara, tapi dengan kejelasan yang dingin. Dia tidak pernah menjadi musuh utamaku. Dia adalah hantu pertamaku, kurator pertamaku. Dia adalah pelajaran pertamaku tentang bagaimana kekuasaan dan cinta bisa digunakan sebagai senjata untuk mengurung seseorang. Keinginanku untuk menghancurkannya adalah obsesi sekunder; perang yang sesungguhnya adalah untuk membuktikan bahwa aku bisa lepas dari bayang-bayangnya. Dan Sania, entah bagaimana, telah menggunakan obsesi itu untuk tujuannya sendiri.

Aku memikirkan Wisnu Dirgantara. Sebuah nama yang tadinya hanyalah catatan kaki dalam sejarah kemenanganku, kini menjadi pusat dari segalanya. Seorang seniman baik hati yang dihancurkan oleh mesin yang kubantu bangun. Apakah aku merasakan penyesalan? Tidak. Penyesalan adalah kemewahan. Yang kurasakan adalah pengakuan yang pahit bahwa setiap kerajaan dibangun di atas tulang belulang kerajaan lain.

Dan aku memikirkan Reno. Si pion. Si assassin. Si putra yang berduka. Si sekutu yang tidak suci. Dia adalah semua itu dan bukan salah satunya. Dia adalah paradoks hidup, senjata yang ditempa dari cinta dan kebencian. Pesan terakhir kami adalah saat aku memberinya perintah untuk memulai serangan terhadap Hartono. Sejak saat itu, tidak ada komunikasi. Aliansi kami yang rapuh menguap begitu tujuannya tercapai. Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Aku tidak tahu apakah dia tahu apa yang sedang kulakukan.

Lihat selengkapnya