THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #51

BAB 50

Gerbang besi itu menutup di belakangku dengan bunyi dentang yang berat dan pasti, memisahkanku dari dunia yang kukenal. Jalan masuk pribadi itu panjang dan berkelok, diapit oleh pohon-pohon damar raksasa yang tampak setua waktu itu sendiri. Udara di sini lebih dingin, lebih bersih, dan sunyi senyap. Ini bukan keheningan kota. Ini adalah keheningan dari sebuah tempat yang telah lama menarik diri dari hiruk pikuk dunia.

Rumah itu muncul dari balik tikungan terakhir, dan itu bukanlah mansion modern yang megah seperti milik Adrian. Ini adalah vila kolonial Belanda yang luas, dicat putih, dengan pilar-pilar besar dan jendela-jendela tinggi. Tampak anggun, terawat, tetapi juga terasa melankolis, seperti seorang janda bangsawan yang mengenang masa lalunya yang gemilang.

Seorang pria tua dengan pakaian sederhana—bukan seragam pelayan—membukakan pintu utama yang besar bahkan sebelum aku sempat mengetuk. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya memberiku anggukan kecil dan memberi isyarat agar aku masuk.

Bagian dalamnya tidak seperti yang kubayangkan. Tidak ada emas atau marmer. Dindingnya dilapisi oleh rak-rak buku dari kayu jati yang menjulang tinggi hingga ke langit-langit, dipenuhi oleh ribuan buku. Udaranya berbau seperti kertas tua, teh melati, dan kayu yang dipoles. Ini bukan rumah seorang CEO atau penjahat. Ini adalah perpustakaan pribadi seorang filsuf.

Aku dibawa menyusuri koridor panjang yang dindingnya dihiasi oleh artefak-artefak dari seluruh dunia—topeng Noh dari Jepang, sebuah belati upacara dari Afrika, sebuah permadani Persia yang warnanya sudah pudar. Setiap benda terasa memiliki sebuah cerita, simbol sejarah.

Pria tua itu berhenti di depan sepasang pintu geser dari kayu dan membukanya untukku. "Silakan masuk," katanya, suara pertamanya.

Aku melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan yang bahkan lebih dipenuhi oleh buku daripada koridor tadi. Di tengah ruangan, di dekat jendela besar yang menghadap ke taman yang gelap, duduk seorang wanita di kursi berlengan sederhana, sedang membaca buku di bawah cahaya lampu baca yang hangat.

Sania Widjaja.

Dia tidak langsung mendongak. Dia dengan sengaja menyelesaikan paragraf yang sedang ia baca, lalu dengan sangat pelan, menutup bukunya, meletakkannya di meja kecil di sampingnya. Baru setelah itu, dia mengangkat kepalanya dan menatapku.

Mata itu. Mata yang sama seperti di acara lelang. Tajam, analitis, dan sama sekali tidak menunjukkan keterkejutan.

"Aletta Virmana," katanya, suaranya tenang. "Aku sudah menunggumu. Silakan duduk."

Aku tidak duduk. Aku tetap berdiri di tengah ruangan, merasakan tatapannya memindai diriku. Aku telah menanggalkan baju zirahku. Aku datang sebagai diriku sendiri. Aku ingin dia melihat itu.

"Aku tidak datang untuk minum teh, Profesor," kataku, suaraku membelah keheningan yang terpelajar di ruangan itu. "Aku datang untuk sebuah jawaban."

Dia tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak mencapai matanya. "Kejelasan adalah kemewahan, Nona Virmana. Dan biasanya datang dengan harga yang sangat mahal."

"Aku sudah membayarnya," balasku. "Aku sudah membayar dengan reputasiku, dengan kedamaian pikiranku. Sekarang giliranmu untuk membayar dengan kebenaran."

Lihat selengkapnya