THE TOXIC ASSET

IGN Indra
Chapter #53

BAB 52

Duniaku tidak hancur. Itu lebih buruk. Ia melipat ke dalam dirinya sendiri, seperti sebuah lubang hitam yang menelan semua cahaya, semua suara, semua makna. Video di layar ponsel Reno terus berputar tanpa suara—sebuah film bisu dari kehidupan yang bukan lagi milikku. Aku dan Adrian. Di lobi klinik. Tangannya di bahuku. Wajahku di dadanya. Memperlihatkan momen harapan yang rapuh, yang kini terasa seperti adegan dari film horor.

"Tidak," bisikku, kata itu keluar dari tenggorokan yang terasa seperti terbakar. "Tidak mungkin. Itu... itu rekayasa."

"Apakah begitu, Aletta?" Suara Sania terdengar lembut, dan kelembutan itu terasa lebih kejam daripada teriakan mana pun. "Atau itu adalah satu-satunya bagian dari dirimu yang jujur selama setahun terakhir, yang kau sembunyikan bahkan dari sahabatmu sendiri?"

Aku menatapnya, mataku memohon sebuah penjelasan yang bisa dimengerti oleh otakku yang sedang sekarat. "Kenapa?" tanyaku, suaraku pecah. "Kenapa melakukan ini? Kenapa dengan cara yang begitu..." Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan kekejaman ini.

Sania berjalan ke arah jendela, menatap ke dalam kegelapan tamannya. "Karena Adrian tidak akan pernah berhenti sampai dia memilikimu kembali," katanya. "Dan kau tidak akan pernah berhenti berlari sampai kau benar-benar bebas. Kalian berdua adalah racun bagi satu sama lain, terjebak dalam siklus obsesi dan penghancuran yang telah berlangsung selama hampir dua dekade."

Dia berbalik menatapku. "Aku sudah mengamati kalian sejak lama. Aku melihatmu melarikan diri darinya, membangun kerajaanmu sebagai benteng. Dan aku melihatnya mencoba meruntuhkan benteng itu, bukan untuk menghancurkanmu, tapi untuk memaksamu kembali padanya. Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Kalian berdua lelah berperang. Kalian memulai gencatan senjata rahasia. Kalian bertemu diam-diam. Dan kalian memutuskan untuk mencoba satu hal terakhir yang mungkin bisa menyatukan kalian: seorang anak."

Setiap katanya adalah sayatan. Dia tahu segalanya.

"Aku melihat itu bukan sebagai harapan," lanjut Sania, matanya yang tajam tidak menunjukkan simpati. "Aku melihatnya sebagai kekambuhan. Dosis terakhir dari candu yang akan menghancurkan kalian berdua selamanya. Kau akan kembali ke dalam sangkarnya, dan dia akan kembali menjadi kuratornya. Siklus itu akan dimulai lagi, dan kali ini, akan ada korban ketiga yang tidak bersalah di tengah-tengahnya."

"Jadi kau memutuskan untuk menjadi Tuhan?" desisku, kemarahanku mencoba melawan rasa sakit yang melumpuhkan.

Lihat selengkapnya